Wednesday 27 January 2016

Analisis dan Evaluasi Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pembelian Franchise (Waralaba) Studi Kasus Alfamart Wilayah Jabotabek

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam memenuhi  kebutuhan  sehari-hari  seperti makanan,  minuman, serta peralatan rumah tangga lainnya, masyarakat telah dimudahkan dengan beragamnya  usaha yang menawarkan  alat-alat  pemuas  kebutuhan tersebut. Misalnya, warung di pinggir jalan, toko-toko kelontong, supermarket hingga hypermarket yang mulai banyak beroperasi khususnya di kota-kota besar. Jenis-jenis usaha di atas menjalankan apa yang dikenal dengan penjualan secara ritel atau eceran.
Menjamurnya  pertumbuhan  minimarket  seperti Alfamart, Indomaret, Starmart, Circle K, pasar swalayan, toserba, dan pusat perbelanjaan eksklusif seperti Golden Truly, Hero, Sogo dan lain-lain, sebagai salah satu jaringan retail modern menunjukkan situasi persaingan semakin seru. Retail yang modern merupakan sarana yang tepat bagi usaha memperluas jangkauan pemasaran dengan frekuensi perputaran barang dan modal yang cepat. Bagi pedagang eceran skala besar maka strategi pangsa pasar adalah penting sekali. Salah satu cara untuk memperolehnya adalah dengan membuka cabang (chain store).
Model perdagangan eceran modern ini diperkirakan akan terus berkembang mengingat tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan   pokok   sehari-hari   (Tabel   1).   Seiring   dengan   peningkatan kemampuan ekonomisnya, masyarakat makin membutuhkan kenyamanan berbelanja,  higienitas  barang, serta kualitas  barang  yang baik.  Bila dalam dunia manufaktur, akibat kemajuan teknologi ada kecenderungan bahwa semakin besar skala usaha, semakin tinggi pula efisiensi usaha. Implikasinya ialah bahwa biaya per unit produksi cenderung menunjukkan arah yang menurun, sehingga dapat mengalahkan skala unit usaha manufaktur yang tidak dapat memanfaatkan economies of scale yakni unit usaha berskala kecil.
Tabel 1. Proporsi Pasar Ritel

Tipe Pasar
Tahun
Proporsi (%)
Tradisional
2000
78.1

2001
75.1

2002
74.8

2003
73.7

2004
69.6
Modern
2000
21.8

2001
24.8

2002
25.1

2003
25.4

2004
30.4

 

Menanggapi kebutuhan dan tuntutan konsumen tersebut, perusahaan- perusahaan ritel modern lebih cerdik dan tanggap bertindak melalui strategi penjualan jitu, yang tidak hanya menawarkan produk berkualitas dengan harga yang lebih rendah (implikasi dari biaya per unit produksi rendah) bagi konsumen  tetapi juga berbagai kenyamanan lain, seperti tersedianya lahan parkir, pendingin ruangan, garansi, penitipan barang, dan lain sebagainya. Lokasi yang tersebar di berbagai wilayah juga menambah kenyamanan bagi konsumen dalam berbelanja. Konsumen tidak perlu berpergian  jauh untuk dapat memperoleh barang yang dibutuhkan. Karena salah satu elemen yang penting bagi uasaha ritel yaitu lokasi yang strategis. Lokasi yang dapat dipilih pun beragam, ada yang menyatu dengan pusat perbelanjaan tertentu, atau berdiri sendiri.
Bisnis ritel dengan konsep modern terus berkembang walaupun kondisi perekonomian sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi. Pada 2004, total bisnis retail secara nasional mencapai Rp 120 triliun. Sebanyak Rp 35 triliun dihasilkan  oleh para peritel yang tergabung dalam asosiasi. Sisanya, yang mencapai 70%, masih dikuasai oleh small retailer. Sedangkan untuk tahun ini (2005), hingga akhir tahun target secara nasional yang ingin dicapai sebesar Rp 150 triliun. Aprindo sendiri menargetkan Rp. 45-50 triliun .
Dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 220 juta jiwa, persentase kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 52,83% dari rata- rata pengeluaran perkapita perbulan yang digunakan untuk konsumsi yang berhubungan dengan produk-produk makanan. Berdasarkan data tersebut, maka pasar yang dapat dinikmati oleh perusahaan ritel sangat menjanjikan. Terlebih lagi kebutuhan makanan yang merupakan  kebutuhan primer akan selalu dicari oleh konsumen tanpa meliahat musim atau kondisi lainnya.
Jumlah pasar yang besar dan banyaknya perusahaan ritel yang menawarkan pemenuhan kebutuhan akan makanan serta keperluan rumah tangga lainnya, seperti mini market, supermarket, dan hypermarket, menyebabkan persaingan cenderung semakin ketat. Dengan kata lain kehadiran perusahaan ritel modern mengundang berbagai bentuk kekuatiran, yakni berupa tergilasnya pedagang eceran kecil atau hancurnya pasar-pasar tradisional.  Di  tengah  persaingan  yang  sengit  ini  terbukti  retail  modern tumbuh pesat sementara beberapa yang lain – kebanyakan non-chain – tak tahan dan mati dimangsa pesaingnya.
Melihat fenomena diatas perusahaan ritel modern berlomba-lomba mengembangkan dan mempertahankan eksistensi usahanya dengan membuka cabang (chain-store) di tempat-tempat  strategis. Salah satu pola yang marak dikembangkan saat ini yaitu melalui pola waralaba (franchising). Potensi pasar bisnis waralaba sangat besar terlihat dari populasi usaha-usaha franchise yang bermunculan di tanah air, baik lokal maupun asing3.
Usaha franchise di Indonesia mencatat pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Data yang ada menyebutkan, usaha franchise dan business opportunity tahun  2004 sebanyak 166 usaha. Setahun berikutnya  (2005) angka tersebut melonjak tajam menjadi 273 usaha atau mengalami kenaikan sekitar  60% yang  sepertiganya  menawarkan  jenis franchise.  Jika dihitung rata-rata, baik lokal maupun asing, pertumbuhan usaha franchise mencapai.

B.Perumusan Masalah
Salah satu keunggulan industri ritel adalah karakteristiknya yang tahan banting. Situasi sulit hingga saat ini yang ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat tidak berpengaruh banyak terhadap sektor ini. Potensi pasarnya terus bergairah, terutama untuk produk kebutuhan sehari-hari karena masyarakat tidak pernah berhenti berkonsumsi. Tahun 2005, total omset ritel nasional secara keseluruhan mancapai Rp. 450 triliun. Tetapi untuk produk-produk kategori perdagangan kebutuhan sehari-hari pada tahun lalu mencapai Rp. 45 triliun. Dari angka itu, minimarket Alfamart menguasai 33% market share, berada di posisi kedua setelah Indomaret  yang market sharenya  mencapai 35% 5. Hal itu berarti, potensi minimarket sangat besar. Peluangnya pun hingga saat ini masih terbuka sangat lebar. Dari data yang ada, satu minimarket di Jabotabek melayani sekitar 35.000 jiwa. Masih terlalu besar. Perbandingannya dengan Jepang, satu minimarket  melayani 15.000 jiwa, Singapura satu minimarket melayani 11.000 jiwa. Dari data tersebut, terlihat bahwa peluang usaha minimarket masih sangat besar.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa membutuhkan lebih dari dua juta titik outlet untuk melayani mereka. Idealnya, satu outlet melayani  1000  orang.  Dari  data  yang  ada,  baik  dari  AC Nielson,  dari lembaga riset Frontier dan dari beberapa riset perusahaan  seperti Unilever dan Coca Cola, jumlah titik pengecer di seluruh Indonesia berkisar antara 1,9 hingga 2,3 juta. Jika dari jumlah  itu seperempatnya  saja yang dibutuhkan minimarket, maka harus tersedia sekitar 400.000 outlet. Sedangkan yang tersedia dari Alfamart dan Indomaret baru sekitar 3.000 outlet. Misalnya ditambah   AMPM,   Circle   K   dan   sejumlah   outlet   minimarket   lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Faktor-faktor   apa   yang   mempengaruhi    franchisee   dalam   proses keputusan pembelian franchise Alfamart?
2.Atribut-atribut  apa  saja  yang  dianggap  penting  oleh  franchisee  pada franchise yang ditawarkan?
3.Bagaimana   sikap   franchisee   Alfamart   terhadap   atribut   franchise Alfamart  dan  atribut  apa  saja yang  harus  mendapat  evalusi  dalam rangka perbaikan strategi franchise yang telah diterapkan PT. Sumber Alfaria Trijaya terhadap outlet Alfamart?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Perilaku Konsumen
Definisi perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995) adalah tindakan yang  langsung  terlibat  dalam mendapatkan,  mengkonsumsi,  serta menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti  tindakan  ini. Istilah perilaku  konsumen  menurut  Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003), diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan  konsumen  dalam  mencari,  membeli, menggunakan, mengevaluasi,  serta menghabiskan  produk dan jasa yang diharapkan  dapat memuaskan kebutuhannya.
Perilaku   konsumen   menurut   Engel,   dkk   (1995)   dipengaruhi   dan dibentuk  oleh faktor  pengaruh lingkungan,  perbedaan  individu  dan proses psikologis.  Model  dikembangkan  untuk  berbagai  macam kegunaan,  tetapi tujuan utama dari pengembangan model perilaku konsumen adalah : (1) membantu pengembangan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen, dan (2) sebagai bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus berkembang tentang perilaku konsumen. Salah satu model yang telah dikembangkan.

B.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian
Banyak faktor yang mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen, bisa berasal dari dalam diri konsumen maupun dari luar. Kottler (2002)  mengemukakan  ada  empat  faktor  yang  mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pembelian suatu produk, yaitu:
1.Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen  terdiri dari budaya, sub budaya, kelas sosial, keluarga,  dan situasi.
2.Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen terdiri dari kelompok acuan, keluarga, peran, dan status.
3.Faktor Pribadi
Terdiri dari usia, pekerjaan dan ekonomi individu, gaya hidup, dan kepribadian.
4.Faktor Psikologis
Mengemukakan empat faktor psikologis yang mempengaruhi proses keputusan pembelian. Terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, dan keyakinan / sikap.
Engel, dkk (1995) mengungkapkan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi  konsumen  dalam melakukan keputusan  pembelian  produk, yaitu pertama faktor lingkungan, meliputi budaya, kelas sosial, pengaruh keluarga dan situasi. Kedua faktor perbedaan individu, meliputi sumber daya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup  dan     demografi.   Ketiga  faktor  psikologis,   meliputi   pengolahan informasi, pembelajaran dan perubahan sikap atau perilaku. Model perilaku konsumen menurut  Engel, dkk (1995).

C.Pemasaran
Pemasaran umumnya dipandang sebagai tugas untuk menciptakan, memperkenalkan,  dan menyerahkan barang dan jasa kepada konsumen dan perusahaan  (Kotler,  2000).  Pemasaran  bersandar  pada konsep inti sebagai berikut : kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); Produk (barang, jasa dan gagasan); nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran dan transaksi;  hubungan  dan jaringan;  pasar; serta pemasar  dan calon pembeli digunakan  untuk  menyerahkan  dan menerima  pesan  dari pembeli  sasaran. Kedua saluran distribusi untuk memamerkan atau menyerahkan produk fisik atau jasa kepada pembeli atau pengguna. Ketiga saluran penjualan untuk mempengaruhi  transaksi dengan pembeli potensial, saluran ini tidak hanya mencakup distributor dan pengecer melainkan juga bank dan perusahaan asuransi yang memudahkan transaksi.
Lingkungan  pemasaran  terdiri  dari  lingkungan  tugas  dan  lingkungan luas. Lingkungan tugas mencakup aktor-aktor dekat yang terlibat dalam memproduksi, menyalurkan, dan mempromosikan tawaran. Sedangkan lingkungan luas terdiri dari enam komponen, yaitu : lingkungan demografis, lingkungan ekonomi, lingkungan alam, lingkungan teknologi, lingkungan hukum-politik, dan lingkungan sosial-budaya. Lingkungan luas mengandung kekuatan   yang   dapat   membawa   dampak   utama   bagi   para   pelaku   di lingkungan tugas (Kotler, 2000).

D.Strategi Pemasaran
Pemasaran   merupakan   suatu   proses   sosial   dan   manajerial   yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan   inginkan   dengan   menciptakan,   menawarkan   dan   mempertukarkan produk  yang  bernilai  dengan  pihak  lain  (Kotler,  2000).  Pemasaran  tidak hanya menjual produk-produk perusahaan, tetapi juga sebagai seni untuk mengidentifikasi dan memahami kebutuhan pelanggan dan menciptakan kepuasan pelanggan, memberikan keuntungan pada perusahaan dan pemodal di perusahaan tersebut.
Suatu perusahaan harus mampu merumuskan  strategi pemasaran yang tepat agar dapat bersaing dengan perusahaan kompetitor lainnya dalam suatu industri.  Strategi  dirumuskan  sebagai  sarana  untuk  mencapai tujuan  akhir selain itu strategi bukanlah sekedar suatu rencana (Jauch dan Glueck dalam Kotler, 2000). Strategi merupakan rencana yang disatukan, mengikat semua bagian perusahaan menjadi satu bagian dan   bersifat menyeluruh pada tiap bidang di suatu perusahaan.
Strategi  pemasaran  merupakan  prinsip-prinsip  yang  mendasari manajemen  pemasaran  untuk  mencapai tujuan  perusahaan  (Kotler,  2000).

E.Bauran Pemasaran
Di dalam   strategi   pemasaran   terdapat   suatu   konsep   kunci   dalam pemasaran   modern   yang   dikenal   dengan   bauran   pemasaran.   Bauran pemasaran  adalah  seperangkat  alat pemasaran  yang digunakan  perusahaan untuk  mencapai  tujuan  pemasarannya  dalam pasar sasaran  (Kotler,  2000). Bauran pemasaran produk terdiri atas empat kelompok, yaitu (Kotler, 2000) :
1.Product (produk)
Produk adalah sesuatu yang ditawarkan individu, rumah tangga maupun organisasi   ke   dalam   pasar   dan   dapat   memuaskan   keinginan   dan kebutuhan konsumen. Macam produk dapat dicirikan fisik, jasa layanan, prestise tempat, organisasi maupun ide.
2.Price (harga)
Harga merupakan jumlah uang tertentu yang harus dibayarkan oleh pelanggan  untuk  produk  tertentu  dan merupakan  salah  satu alat ukur besar kecilnya nilai kepuasan seseorang terhadap produk atau jasa yang dibeli.
3.Place (tempat distribusi)
Menyediakan   produk  kepada  konsumen  pada  tempat,  kualitas  dan jumlah yang tepat. Tempat yang dimaksud adalah di mana konsumen dapat memperoleh produk tersebut atau saluran distribusi (cabang). Saluran distribusi adalah himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa  selama  berpindah  dari  produsen  ke  konsumen.  Dalam pendistribusian,  perusahaan  membutuhkan  penyalur  baik dari internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Macam distributor antara lain agen, penyalur,  distributor,  pedagang  besar, pengecer  dan perwakilan dagang di luar negeri.
4.Promotion (promosi)
Promosi  menunjukkan  pada  berbagai  kegiatan  yang  dilakukan perusahaan untuk mengkomunikasikan kebaikan produknya, membujuk dan   mengingatkan   para   pelanggan   dan   konsumen   sasaran   untuk membeli produk tersebut.

F.Saluran Distribusi
Mengalirnya  barang dari tempat produksi ke tempat untuk siap dibeli pada   prinsipnya   menempuh   dua   macam   jalur.   Yang   pertama   jalur kepemilikan, yaitu lembaga-lembaga pemasaran yang menangani, mencangkukp produsen, distributor, pedagang besar, pedagang eceran. Sedangkan  yang kedua adalah jalur fisik, meliputi,  pengangkutan, pergudangan  dan  bongkar  muat.  Kedua  jalur  itu  sebenarnya  terkait  erat, meski dalam banyak hal tidak sejalan. Penyebabnya karena banyak lembaga pemasaran  tidak  sekaligus langsung  menangani  distribusi  fisiknya, melainkan  diserahkan  kepada  perusahaan  lain  yang  menangani pengangkutan, pergudangan dan bongkar muat. Pada tulisan ini aspek yang ingin ditekankan adalah jalur kepemilikannya, yaitu grosir dan lembaga pengecer (pedagang eceran). Sebagai lembaga penyalur yang menyampaikan barang,  maka  sebenarnya  lembaga  pengecer  inilah  yang  langsung berkecimpung  dalam pelaksanaan  penjualan.  Dalam pelaksanaan  penjualan ada  tiga  kegiatan  utama  yang  dilakukan,  yaitu produksi,  distribusi,  dan konsumsi. Antara ketiga kegiatan tersebut ada saling interaksi dan ketergantungan satu sama lain. Untuk sampai pada konsumen ada berbagai cara pendistribusian barang, langsung maupun tidak langsung.

G.Franchise (Waralaba)
Kata  franchise  berasal  dari  bahasa  Perancis  affanchir  yang berarti bebas dari kungkungan/belenggu (free from servitude). Di sini hakekat  dari  pengertian  waralaba  adalah  mandiri/bebas.  Waralaba berasal  dari kata  wara  (lebih/istimewa)   dan  laba  (untung).   Jadi waralaba  berarti  suatu  bentuk kemitraan  usaha antara pengwaralaba (franchisor)  dengan pewaralaba (franchisee),  yang saling menguntungkan dan diatur oleh Standard Operation Prosedure (SOP). SOP  ini  ditetapkan  oleh  pengwaralaba  (franchisor)  untuk menjaga bentuk produk, standarisasi mutu dan pelayanan.
Dalam bahasa Indonesia kata franchise dipadankan dengan kata waralaba. Kata waralaba pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) UI, sebagai padanan kata franchise. Tetapi waralaba bukan terjemahan langsung dari kata franchise.
Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan   usaha   secara   mandiri   di   wilayah tertentu.   Rincian padanan   kata   untuk   sistem   keterkaitan   usaha   waralaba   dengan franchise   dari kata  Inggris   dan  Indonesia.
Pengertian franchise menurut Anoraga (1997) merupakan suatu sistem bagi distribusi selektif bagi barang dan/atau jasa di bawah suatu nama merek melalui tempat penjualan yang dimiliki oleh pengusaha independen yang disebut franchisee (pewaralaba), walaupun pemberi hak franchise (franchisor)  memasok franchisee (pewaralaba)  dengan pengetahuan   atau   identifikasi   merek   secara   terus-menerus,   dan franchisee (pewaralaba) menikmati hak atas profit yang diperoleh dan menanggung  resiko  kerugian.  Franchisor (pengwaralaba) mengendalikan   distribusi   barang   dan/atau   jasanya   melalui   suatu kontrak   dengan   mengatur   aktivitas   dalam   hubungannya   untuk mencapai standarisasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Mendelshon (1993) yang  menyatakan   bahwa  franchising   merupakan  karakter  dagang dimana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan  franchise  (lisensi)  kepada  orang  lain, dimana  dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama.

Tabel . Padanan Franchise dalam Bahasa Asing dan Pengertiannya

Inggris
Indonesia
Pengertian
Franchise
Waralaba
Suatu sistem  keterkaitan  usaha vertikal  yang

saling memberikan keuntungan
Franchising Franchisor Franchisee
Pewaralabaan Pengwaralaba Pewaralaba
Aktivitas sistem waralaba Pihak yang membed waralaba Pihak yang diberi waralaba

 





BAB III
PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum Perusahaan
1.Sejarah Perusahaan
PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT) merupakan perusahaan nasional   yang   bergerak   dalam   bidang   perdagangan   umum   dan didirikan    pada   tahun   1999.   Pada   bulan   Agustus    2002   SAT memfokuskan kegiatan usahanya melalui jaringan mini market dengan nama   “Alfamart”,   dengan   mengakuisisi   aktiva   milik   PT   Alfa Mitramart Utama. Pada akhir bulan Desember tahun 2005, jumlah jaringan  mini  market  Alfamart  adalah  sebanyak  1293  toko  yang tersebar   di   wilayah   Jabotabek,   Bandung,   Cirebon,   Cilacap   dan Surabaya. Kantor pusat perusahaan berlokasi di Cileungsi, Jawa Barat, sementara kegiatan operasional toko dikoordinasikan melalui 7 cabang yang   terletak   di  Serpong,   Bekasi,   Cileungsi,   Bandung,   Cirebon, Cilacap dan Surabaya. SAT merupakan anak perusahaan dari PT HM Sampoerna Tbk. (70%), sementara pemegang saham lainnya adalah PT Sigmantara Alfindo (30%).

2.Visi, Misi dan Target Pasar
a.Visi SAT adalah menjadi jaringan distribusi retail terkemuka di Indonesia  yang  mampu  bersaing  di pasar  global,  dimiliki  oleh masyarakat luas dan berorientasi pada pemberdayaan pengusaha kecil.
b.Misi SAT
•Memuaskan   kebutuhan   dan   harapan   franchise   dengan memfokuskan   diri  pada  produk  dan  layanan  berkualitas tinggi
•Mengembangkan  semangat  dan kemampuan  wiraswasta  di dalam perusahaan dan masyarakat.
•Mengimplementasikan  etika bisnis dalam usaha kita untuk memberikan yang terbaik dalam setiap tindakan.
•Mengembangkan suatu organisasi yang terpercaya, sehat dan selalu  berkembang,   yang  dapat  memberikan   keuntungan pada   franchise,   Pemasok   (supplier),   karyawan,   pemilik saham dan masyarakat.
c.Target Pasar
Alfamart memfokuskan usahanya pada penyediaan kebutuhan  pokok  dan  sehari-hari  dengan  luas  area  penjualan tidak lebih    dari    250    m2.    Target    pasar    Alfamart    dapat dikelompokkan menurut 3 perspektif berikut:
•Geografis:    area    perumahan,    fasilitas    publik,    gedung perkantoran
•Demografis: ibu rumah tangga, anak-anak, kelas ekonomi menengah (SES B&C = ekonomi menengah dan bawah)
•Psikografis: kenyamanan, pelayanan yang ramah

3.Model Bisnis
Saat  ini  SAT  telah  mengembangkan  3  model  bisnis  sebagai berikut:
1.Toko Reguler
Merupakan toko yang dimiliki dan dikelola oleh SAT
2.Toko Franchise (Waralaba)
Merupakan  toko yang dimiliki  dan dikelola  oleh franchise  yang diatur dengan perjanjian waralaba dengan SAT. Toko ini memakai merk dagang dan sistem Alfamart.
3.Toko Take Over
Merupakan  toko Reguler yang diambil alih oleh franchise.  Toko ini juga memakai merek dagang dan sistem Alfamart. Pada akhir bulan Desember 2005, dari 1293 toko Alfamart, ± 20%  diantaranya  merupakan Toko  Kemitraan  Franchise  (Waralaba) dan Operator Mandiri. Kerjasama kemitraan Alfamart telah dilakukan antara lain dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat (PUSKOPAD) Jabotabek,   PUSKOPOLDA Jawa   Barat,   INKOWAPI,    Koperasi Pegawai  Telkom  Surabaya,  Koperasi  Saudara  Zakka Serpong dan beberapa orang secara individual. Di masa yang akan datang, SAT merencanakan   untuk memfokuskan pengembangan   usahanya  pada model bisnis toko Franchise (Waralaba) dan toko Operator Mandiri.

4.Tipe Toko
Untuk memenuhi kebutuhan franchise dan mengatasi kendala keterbatasan  area penjualan  yang diinginkan (karena  hampir  seluruh lokasi toko Alfamart sewa dari pihak ketiga), manajemen SAT mengembangkan 6 tipe toko mengacu pada jumlah rak yang ada. Tipe 9 berarti toko tersebut memiliki 9 rak, dan seterusnya.
Tabel Tipe toko Alfamart
Tipe
Toko
Luas area penjualan (m2)
Jumlah item barang
yang dijual
9
30
1.200
18
40
1.800
27
60
2.200
36
80
2.500
45
100
3.000
54
120
3.500

5.Model Bisnis Waralaba (Franchise)
Model bisnis Waralaba dikembangkan oleh manajemen SAT sejalan  dengan  visi  dan  misi  perusahaan untuk  menjadi  jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki oleh masyarakat  luas. Model bisnis waralaba ini lebih ditujukan kepada investor yang mempunyai dana yang cukup, untuk memiliki toko Alfamart.
a.Siapa Yang Dapat Menjadi Penerima Waralaba
Yang dapat menjadi penerima Waralaba adalah Perorangan atau Badan Usaha (CV, PT, Koperasi, dsb) yang sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas minimal 90 m2 untuk area penjualan (di luar gudang) dan mempunyai dana yang cukup untuk  mendirikan   usaha  Minimarket   serta  bersedia   mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di Alfamart.
b.  Proses Menjadi Penerima Waralaba Alfamart
Ada beberapa tahap yang harus dilalui didalam menjadi penerima waralaba Alfamart, tahap-tahap tersebut dapat antara lain:
Gambar 7. Tahapan Penerimaan Waralaba Alfamart

c.   Potensi Lokasi Untuk Minimarket
Indikator potensi lokasi untuk minimarket adalah berdasarkan pada segmentasi pasar golongan menengah ke bawah yang di sekitarnya terdapat komunitas penduduk yang merupakan target pasar dan mempunyai kemampuan daya beli. Posisi Alfamart adalah kategori Grocery Store yang menyediakan barang untuk kebutuhan keluarga atau individu, jadi secara umum indikator penilaian terhadap suatu lokasi berdasarkan akses, keadaan lingkungan, arus lalu-lintas, perkembangan pembangunan, keberadaan pesaing dan sebagainya.
d.  Kewajiban-Kewajiban Pembayaran
Dalam  hal ini franchise  mempunyai  kewajiban  pembayaran  atas biaya fee, dengan perincian sbb:
1.Franchise   Fee  yang  berlaku   selama   5  tahun  sebesar   Rp45.000.000,-   (belum  termasuk  PPn  10  %).  Hak  Penerima Waralaba  terhadap  pembayaran  Franchise  Fee meliputi  merk dagang   (Alfamart),   Pengetahuan   Retail   Modern,   Pelatihan Retail, Software retail, management  back up, manual operasi, supervisi rutin, bantuan promosi, supply barang, other income, jaringan alfamart, laporan keuangan dan perpajakan.
2.Royalty  Fee  dihitung  secara  progresif  dari  total  penjualan bersih perbulan. Tarif royalty fee yang berlaku adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Tarif royalty fee
Penjualan Bersih
Persentase
Rp. 0 s/d Rp. 75.000.000.
0  %
Rp. 75.000.000. s/d Rp. 100.000.000
 %
Rp. 100.000.000. s/d Rp. 150.000.000.
2.5 %
> Rp. 150.000.000.
 %

Sehingga   dalam   hal   ini  bisa   di  tarik   kesimpulan   bahwa pengenaan Royalty Fee sangat tergantung pada besar kecilnya penjualan bersih.
3.Administration Fee yang di dibebankan setiap bulan kepada franchise sebesar Rp. 600.000,- (belum termasuk PPn 10 %). Dalam   hal   ini   administrasi   fee   digunakan   untuk   biaya pembuatan   administrasi laporan   keuangan   dan   perpajakan setiap bulan.
4.Distribution Fee dihitung dari 2 % dikalikan pembelian bersih (setelah dikurangi return). Dalam hal ini distribution fee digunakan   untuk   biaya   pengiriman   dari   gudang   Alfamart sampai ke gudang toko.

B.Faktor-Faktor    yang   Mempengaruhi    Proses   Keputusan    Pembelian
Franchise Alfamart
Analisis faktor digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi franchise dalam proses pembelian franchise Alfamart. Metode ini  bertujuan  untuk  menemukan  hubungan  antara  jumlah  variabel-variabel yang  saling  bebas  satu  dengan  lainnya,  sehingga  dapat  dibuat  satu  atau beberapa kumpulan variabel (faktor) yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal, tetapi tetap mencerminkan variabel aslinya. Pada penelitian ini, terdapat 25 variabel yang akan dianalisis namun variabel yang lolos dalam uji validitas berjumlah  24 variabel.  Hanya 1 variabel yang direduksi karena tidak valid, yaitu   variabel   keuntungan   (return).   Adapun   keduapuluh   empat   variabel termasuk di dalamnya adalah (X1) Besarnya Investasi, (X2) Reputasi merek, (X3) Jaringan toko/branch, (X5) Teman/kenalan, (X6) Keluarga, (X7) Jiwa wirausaha, (X8) Pengalaman bisnis ritel, (X9) Sistem managemen, (X10) PBP dan   BEP,   (X11)   Ketersediaan    dana,   (X12)   Promosi,    (X13)   Pelatihan Managemen, (X14) Kualitas franchise, (X15) Latar belakang perusahaan, (X16) Harga jual produk, (X17) Variasi produk (X18) Pemasok (supplier), (X19)Pelayanan toko, (X20) Penampilan toko, (X21) Komunikasi dengan franchisor,  (X22) SOP (Standard  Operation  Procedure),  (X23) Potensi bisnis ritel, (X24) Motivasi pembelian, (X25) Mencari pengalaman. Langkah pertama adalah  menilai  variabel  yang  dianggap  layak  untuk  dimasukkan  kedalam analisis  selanjutnya.  Dari hasil perhitungan  komputer  dengan  menggunakan program SPSS 11.5 diperoleh output hasil pengolahan awal analisis faktor (Lampiran  4). Hasil pengolahan  memperlihatkan  angka Keiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (K-M-O MSA) mencapai 0,637 dengan signifikansi 0,000 dan angka chi square pada uji Barlett sebesar 537,759 K- M-O adalah indeks pembanding besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial, sedangkan Barlett Test of Sphericity digunakan untuk menguji apakah matriks korelasi tersebut merupakan matriks identitas atau bukan, karena matriks identitas tidak dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.  Karena angka KMO sudah di atas 0,5 dan signifikansi jauh di bawah 0,05 (0,000<0,05),  maka semua variabel bisa dianalisis lebih lanjut.
Dalam perhitungan Tabel Anti-Image Matrix (Anti Image Correlation) pada  Lampiran  5  didapatkan variabel  yang  memiliki  nilai  MSA  (angka korelasi  yang bertanda  “a”) di bawah  0,5, yaitu variabel keluarga  (0,438a). Dengan demikian perlu dilakukan pengujian ulang analisis faktor  tersebut  dengan mengeluarkan  variabel  keluarga  dari analisis  faktor. Setelah  dilakukan  pengujian  ulang,  kini  tidak  ada variabel  yang  memiliki MSA  dibawah  0,5  sehingga  tidak  perlu  dilakukan  pengujian  ulang  lagi terhadap  analisis  faktor  tersebut.  Dapat  dilihat  pada  Lampiran  4  terjadi kenaikan angka K-M-O MSA setelah pengujian ulang tersebut.
Langkah berikutnya adalah melakukan proses inti dari analisis faktor, yakni mengekstraksi sekumpulan variabel yang tersisa sebanyak 23 variabel.sehingga  terbentuk  satu  atau  lebih  faktor.  Metode  yang digunakan dalam proses ekstraksi ini adalah Analisis Komponen Utama (Principle Component  Analysis). Setelah  proses  ekstraksi  dilakukan,  maka  diperoleh nilai  communalities.  Communalities  pada  dasarnya jumlah  keragaman  dari suatu variabel mula-mula  yang dapat dijelaskan  oleh faktor yang terbentuk. Semakin tinggi nilai communality sebuah variabel, berarti semakin erat hubungannya   dengan   faktor   yang   terbentuk   dan   semakin   besar   juga keragaman variabel tersebut dengan faktor yang terbentuk.
Untuk variabel motivasi pembelian menunjukkan nilai communality sebesar   0,862,   artinya   sekitar   86,2%   keragaman   dari  variabel   motivasi pembelian dapat dijelaskan oleh faktor yang nanti akan terbentuk. Kemudian pada variabel komunikasi dengan franchisor nilai communality sebesar 0,825,  artinya sekitar 82,5% keragaman dari variabel komunikasi dengan franchisor dapat dijelaskan oleh faktor yang nanti akan terbentuk. Demikian seterusnya untuk variabel yang lainnya, dengan ketentuan bahwa semakin besar nilai communalitiy suatu variabel, berarti semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. Tabel 10 menunjukkan  nilai communalities  dari 23 variabel yang dianalisis berdasarkan urutan terbesar hingga terkecil.
Tabel 10. Urutan nilai communality masing-masing variabel
No.
Variabel
Communality
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23
Motivasi pembelian
Komunikasi dg Franchisor
 Pemasok (supplier) Toko
Pelatihan Manajemen
Latar Belakang Perusahaan
Jaringan toko (branch)
SOP (Standard Operation Prosedure)
Teman/kenalan
PBP dan BEP
Pelayanan toko
Harga jual produk
Kualitas Franchise
 Pengalaman bisnis ritel
 Penampilan toko
Besar Investasi
Ketersediaan dana (financial)
Jiwa wirausaha
Merek (brand)
Mencari pengalaman bisnis
Promosi
Variasi produk
Potensi bisnis ritel
Sistem managemen franchise
.862
.825
.792
.787
.783
.770
.766
.759
.759
.756
.751
.750
.729
.714
.708
.693
.681
.677
.665
.639
.590
.550
.546

Dalam pengolahan ini terbentuk enam faktor yang mempengaruhi keputusan   pembelian   franchise   Alfamart.   Pembentukan   faktor-faktor   ini terdapat pada Tabel total variance explained  disajikan pada Lampiran 6. Pada tabel tersebut terlihat keenam faktor yang terbentuk ini memiliki angka eigencvalue  di atas 1 dan dapat menjelaskan  71,960% dari total keragaman faktor yang terbentuk. Eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing- masing faktor dalam menghitung keragaman 23 variabel yang dianalisis.
Jika  Tabel  total  variance  menjelaskan   dasar  jumlah  faktor  yang didapat  dengan  perhitungan  angka, maka  untuk  menampilkan  hal  tersebut dengan grafik dapat dilihat pada Scree Plot (Lampiran 7), yaitu grafik yang menunjukkan  dampak  factoring  terhadap  angka  eigenvalue.  Terlihat  bahwa dari faktor satu ke faktor dua (garis dari sumbu Component Number = 1 ke 2), arah garis menurun dengan cukup tajam. Kemudian dari faktor 2 ke 3, garis masih menurun. Demikian pula dari faktor 3 ke 4, 4 ke 5, 5 ke 6 masih tetap menurun, akan tetapi dengan sudut lebih kecil. Namun, setelah faktor 6 angka eigenvaluenya  sudah di bawah angka 1 dari sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meringkas keduapuluh tiga tersebut sangat tepat, jika dibentuk enam faktor. Analisis selanjutnya dilakukan pada Component Matrix pada Tabel 11 yang menunjukkan distribusi dari 23 variabel pada enam faktor yang menunjukkan distribusi dari 23 peubah pada enam faktor yang terbentuk. Sedangkan angka-angka yang ada pada tabel tersebut adalah factor loadings, yang menunjukkan besar korelasi antara suatu variabel dengan faktor pertama sampai  keenam. Proses  penentuan  variabel  asal  kedalam  faktor  dilakukan dengan melakukan perbandingan besar korelasi setiap baris yang didasarkan pada angka mutlak terbesar dari nilai factor loadings yang diberikan setiap variabel terhadap masing-masing faktor.
Dalam Tabel component matrix ini, masih ada beberapa variabel yang tidak terlihat perbedaan nyata pada nilai loading factor, sehingga sulit untuk menentukan variabel tersebut termasuk faktor yang mana. Hal ini terlihat dari masih ada nilai loading factor yang di bawah 0,5, yaitu pada variabel Latar belakang perusahaan. Padahal  syarat  suatu  variabel  masuk  ke dalam  suatu faktor, nilai loading factor harus di atas 0,5. Untuk melihat perbedaan yang nyata  pada  nilai  loading  factor  dari  setiap  variabel,  maka  harus  dilakukan proses  rotasi.  Rotasi  dalam  penelitian   ini  adalah  rotasi  dengan  metode Varimax,   yang  bertujuan   untuk  memperbesar   nilai  loading  factor  yang dulunya  memang  sudah  besar  dan  memperkecil  nilai loading  factor  yang dulunya  memang  sudah  kecil,  sehingga  diperoleh  distribusi  loading  factor yang lebih jelas dan nyata.
Hasil dari rotasi Varimax ini tidak merubah jumlah faktor yang telah terbentuk,  melainkan  hanya  merubah nilai loading  factor saja. Berdasarkan hasil  dari  rotasi  pada  Tabel  rotated  component  matrix  (Tabel 12),  setiap variabel yang terdapat pada faktor yang terbentuk tersebut harus memenuhi ketentuan cut off point, dimana nilai loading factor-nya harus lebih besar dari
0,55, agar variabel tersebut secara nyata termasuk ke dalam bagian dari suatu faktor. Dari 23 variabel yang ada pada Tabel rotated component matrix hanya
21 variabel  yang dapat dikelompokkan  ke dalam keenam faktor yang telah terbentuk. Terdapat 2 variabel yang tidak memenuhi ketentuan cut off point yaitu variabel pengalaman bisnis ritel dan variabel potensi bisnis ritel.

C. Analisis Sikap Franchise Terhadap Atribut Franchise Alfamart
Analisis Tingkat Kepentingan (evaluation)
Pada analisis  ini peneliti  menggunakan  model  sikap multiatribut   fishbein   yang   berfokus   pada   prediksi sikap   yang dibentuk oleh seseorang terhadap suatu objek tertentu, dalam hal ini adalah  atribut-atribut  yang melekat  pada  sistem  franchise. Berdasarkan  data primer yang didapatkan  dari 40 orang responden dapat diketahui penilaian franchise dalam bentuk skor kepercayaan (bi) dan skor evaluasi kepentingan (ei) terhadap atribut franchise. Setelah melalui perhitungan dapat diketahui sikap franchise terhadap atribut-atribut franchise.
Disajikan  hasil  evaluasi  tingkat  kepentingan (ei) terhadap atribut franchise sesuai dari urutan skor tertinggi sampai terendah. Evaluasi menggambarkan pentingnya suatu atribut bagi franchise. Mereka akan menganggap artibut produk memiliki tingkat kepentingan yang berbeda. Kemudian franchise akan mengevaluasi kepentingan   atribut   tersebut.   Franchise   akan   mengidentifikasi atribut-atribut yang dimiliki objek yang akan dievaluasi. Dalam penelitian ini evaluasi kepentingan atribut diukur dengan skala likert, mulai dari 1 = sangat tidak penting, 2 = tidak penting, 3 = kurang penting, 4 = cukup penting, dan 5 = penting, 6 = sangat penting.
Tabel 14. Skor tingkat kepentingan (ei) responden terhadap atribut franchise
No.

Atribut
Frekuensi pada tiap nilai skala
Skor Evaluasi (ei)
1
2
3
4
5
6
1
Sistem managemen
0
0
0
0
13
27
5.70
2
PBP dan BEP
0
0
0
2
10
28
5.65
3
Pelayanan toko
0
0
1
1
10
28
5.63
4
Komunikasi dengan franchisor
0
0
0
4
9
27
5.58
5
Penampilan toko
0
0
0
1
16
23
5.55
6
SOP (Standard Operation Procedur)
0
0
0
1
16
23
5.55
7
Kualitas franchise
0
0
0
3
13
24
5.53
8
Besarnya investasi
0
0
0
3
14
23
5.50
9
Latar belakang perusahaan
0
0
0
4
15
21

5.43
10
Harga produk
0
1
1
1
14
23
5.43
11
Variasi produk
0
0
0
2
19
19
5.43
12
Promosi
0
0
0
4
16
20
5.43
13
Branch
0
0
0
3
19
18
5.40
14
Pelatihan managemen
0
0
0
3
22
15
5.30
15
Reputasi merek (Brand)
0
2
1
4
14
19
5.25
16
Pemasok (supplier)
0
0
2
5
21
12
5.18

Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa semua atribut dipertimbangkan oleh franchise, hal ini ditunjukkan dari skor ei   untuk  semua  atribut  di  atas  3,00,  namun  tingkat  kepentingan masing-masing atribut berbeda. Dari keenam belas atribut franchise Alfamart yang dievaluasi responden, atribut managemen profesional memiliki  skor  ei   tertinggi  yaitu  sebesar  5,70  yang  menunjukkan bahwa atribut ini adalah atribut yang paling penting dan diinginkan oleh franchise. Franchise merasa bahwa sistem managemen adalah hal yang paling utama harus dipertimbangkan dalam memilih bisnis franchise karena dengan sistem managamen yang profesional suatu bisnis  apapun  itu  dapat  terorganisisr  dengan  baik  sehingga  dapat tetap bertahan dan eksis dalam kondisi bisnis yang seburuk apapun.
Atribut penting kedua menurut evaluasi franchise adalah Lamanya pengembalian modal/PBP (Pay Back Period) dengan skor ei     sebesar    5,65    sehingga    dapat    dikatakan    bahwa    lamanya pengembalian modal/PBP (Pay Back Period) dianggap penting bagi franchise setelah atribut sistem managemen. Pertimbangan franchise akan  pentingnya   lamanya   pengembalian   modal/PBP   (Pay  Back Period) karena semakin cepat modal dapat kembali akan semakin menarik dan menjanjikan suatu bisnis bagi franchise. Atribut penting yang ketiga adalah pelayanan toko dengan ei  sebesar 5,63. Hal ini berarti franchise menyadari bahwa ditengah persaingan sengit bisnis ritel  saat  ini,  para  konsumen  akhir  yang nantinya  akan  membeli produk franchisenya  perlu sesuatu yang lebih dari sekedar kualitas ataupun keunikan  suatu  produk.  Pelayanan  (service)  yang  baik adalah  hal dapat diberikan  lebih kepada konsumen  akhir  sehingga dapat    membedakannya dengan produk yang ditawakan oleh kompetitor.   Sedangkan   dalam   persepsi   franchise   untuk   atribut pemasok (supplier) merupakan hal yang sangat tidak penting.
Analisis Tingkat Kepercayan (belief)
Hasil   dari   penilaian   tingkat   kepercayaan   (bi)   franchise didapat skor rata-rata kepercayaan terhadap atribut-atribut franchise Alfamart.  Skor  kepercayaan  menggambarkan  seberapa  besar franchise percaya bahwa suatu atribut melekat pada suatu merek.
Dari Tabel  15 bisa diketahui  bahwa  atribut  reputasi  merek (brand) adalah yang paling bagus kinerjanya menurut persepsi franchise   berdasarkan   kenyataan   yang  dirasakan   oleh  franchise setelah  bergabung dengan  Alfamart.    Karena  atribut  ini mendapat perolehan skor yang terbesar diantara antribut lain yaitu sebesar 5,28. Walaupun pada penilaian tingkat kepentingan/evaluasi, atribut ini memiliki  perolehan  skor terendah  kedua  (ei=  5,25)  setelah  atribut pemasok   (supplier).   Hal   ini   mengintrepretasikan   bahwa   atribut reputasi merek yang pada awalnya dirasakan sangat tidak penting ternyata terbukti dan diyakini oleh franchise paling baik kinerjanya karena reputasinya yang sangat terpercaya.

Tabel 15. Frekuensi skor tingkat kepercayaan (bi) atribut franchise Alfamart.

No.

Atribut
Frekuensi pada tiap nilai skala
Skor Kepercayaan (bi)
1
2
3
4
5
6
1
Reputasi merek (Brand) baik
0
0
0
2
25
13
5.28
2
Branch banyak
0
1
0
1
24
14
5.25
3
Pelayanan toko  baik
0
0
1
4
21
14
5.20
4
Pemasok (supplier) jelas
0
0
1
5
20
14
5.18
5
Penampilan toko rapi
0
0
1
6
19
14
5.15
6
SOP (Standard Operation
Procedur) jelas
0
0
1
6
22
11
5.08
7
Kualitas franchise terjamin
0
0
0
7
24
9
5.05
8
Latar belakang  perusahaan terpercaya
0
0
0
8
22
10
5.05
9
Besarnya investasi terjangkau
0
0
1
9
20
10
4.98
10
Komunikasi dengan
franchisor lancar
0
1
0
10
17
12
4.98
11
Promosi menarik
0
1
1
7
22
9
4.93
12
Sistem managemen professional
0
0
1
11
19
9
4.90
13
Variasi produk lengkap
0
0
3
10
18
9
4.83
14
Harga produk murah
0
1
3
12
14
10
4.73
15
Pelatihan berkelanjutan
0
3
1
8
22
6
4.68
16
PBP (Pay Back Period)
cepat
0
1
2
13
18
6
4.65

Dapat dikatakan juga dalam membentuk sikap terhadap franchise Alfamart, franchise mempunyai keyakinan (belief) bahwa reputasi merek (brand) adalah yang paling baik dibandingkan atribut lain yang melekat pada franchise Alfamart. Sedangkan atribut PBP (Pay Back Period) adalah atribut yang paling rendah atau tidak mendapat respon yang baik dari franchise karena pada kenyataannya lamanya pengembalian modal tidak cepat. Padahal atribut ini sebelumnya mendapat skor tertinggi kedua (ei = 5,65) setelah atribut sistem managemen pada penilaian tingkat kepentingan/evaluasi.  Hal ini  membuktikan   bahwa  atribut  ini  sangat tidak  sesuai  dengan harapan franchise.

Analisis Sikap Franchise
Nilai sikap franchise untuk franchise Alfamart didapatkan setelah mengalikan antara skor evaluasi kepentingan (ei) masing- masing  atribut  dengan  skor  kepercayaan  (bi).  Apabila  nilai  sikap untuk masing-masing  atribut dijumlahkan  maka akan didapat  nilai sikap secara keseluruhan untuk franchise Alfamart. Tabel 16 memperlihatkan hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap Alfamart diurutkan dari yang terbesar.
Tabel 16.   Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap Alfamart.


No

Atribut
Skor Evaluasi Kepentingan (ei)
Skor Kepercayaan
ALFAMART
bi
Ao (ei bi)
1
Pelayanan toko  baik
5.63
5.20
29.25
2
Penampilan toko rapi
5.55
5.15
28.58
3
Branch banyak
5.43
5.25
28.48
4
SOP (Standard Operation
Procedur) jelas

5.55
5.08

28.17
5
Sistem managemen professional

5.70
5.05

27.93
6
Kualitas franchise terjamin
5.53
4.90
27.90
7
Komunikasi dengan
franchisor lancer

5.58
4.98

27.74
8
brand baik
5.25
5.05
27.69
9
Latar belakang  perusahaan terpercaya

5.43
4.98

27.40
10
investasi terjangkau
5.50
5.18
27.36
11
Pemasok (supplier) jelas
5.18
5.28
26.78
12
promosi menarik
5.40
4.93
26.60
13
PBP cepat
5.65
4.65
26.27
14
variasi produk lengkap
5.43
4.83
26.18
15
harga produk murah
5.43
4.73
25.63
16
Pelatihan berkelanjutan
5.30
4.68
24.78


Σ ei.bi                                                                                         436.73

Ao  (Sikap  Konsumen)  secara  keseluruhan  adalah  436,43. Angka tersebut  digunakan  untuk mengetahui skala penilaian  sikap franchise   terhadap   atribut   franchise   Alfamart.   Terlebih   dahulu dihitung  skor dari  tiap  penilaian  sikap  yang  ditampilkan  dalam Berdasarkan skala perhitungan dalam Gambar 14 maka didapat hasil penelitian sikap franchise terhadap franchise Alfamart dengan   nilai   436,73.   Skor   tersebut   masuk   ke   dalam   kategori mendekati baik (lihat Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan   franchise   memiliki   sikap   puas   terhadap   franchise Alfamart.
Atribut franchise Alfamart yang memiliki skor sikap tertinggi adalah  aribut pelayanan  toko sebesar  29,25. Bila kita melihat  lagi pada   penilaian   kepentinag   (ei)   dan   kepercayaan   (bi)   atribut pelayanan  toko masuk  peringkat  tiga  besar.  Hal  ini  menunjukkan bahwa atribut inilah yang memiliki performa yang dirasakan paling baik oleh franchise dibandingkan atribut lainnya. Karena atribut ini dirasakan yang paling sesuai dengan harapan dari kenyataannya.
Para franchise memiliki persepsi yang baik terhadap atribut franchise Alfamart secara keseluruhan. Penilaian secara keseluruhan dari  atribut-atribut  tersebut  adalah  franchise  Alfamart  yang ditawarkan  walaupun tidak menjanjikan  pengembalian  modal yang cepat namun pelayanan (service) dalam melayani konsumen akhir di outlet  Alfamart  serta  penampilan   toko  yang  rapi  dan  menarik, membuat  franchise  tetap akan membeli  franchise  Alfamart  karena kekurangan dalam hal pengembalian modal dikompensasi oleh keunggulan  dalam  hal  pelayanan  dan  penampilan  outlet  Alfamart yang  membuat franchise tertarik untuk membeli bisnis franchise Alfamart.
Skala nilai sikap franchise

Tabel Rentang nilai (skala) total sikap (Ao)
Skala Penilaian
Kategori
0          –   87,50
sangat tidak baik
87,50    174,00
tidak baik
174,00 262,50
kurang baik
262,50 350,00
cukup baik
350,00 437,50
baik
437,50 525,00
sangat baik

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan  hasil uraian diatas maka dapat ditarik disimpulkan  sebagai berikut :
1) Variabel-variabel    yang   mempengaruhi    proses   keputusan   pembelian franchise  Alfamart  dapat diringkas  menjadi  enam  faktor  utama.  Hasil analisis faktor meringkas variabel-variabel yang diteliti yaitu sebanyak 21 variabel yang     tersisa      menjadi      enam     faktor      yaitu:      faktor pendorong/pengaruh  utama terdiri dari teman, jiwa wiraswasta,  promosi, harga jual produk, variasi produk, dan pemasok (supplier); faktor sistem dan informasi franchise terdiri dari variabel sistem managemen franchise, kualitas franchise, komunikasi dengan franchisor, dan SOP (Standard Operation Prosedure); faktor analisis keuangan franchise yang terdiri dari variabel besar investasi, PBP dan BEP, ketersediaan dana; faktor citra perusahaan yang terdiri dari variabel jaringan toko (branch), pelatihan managemen, dan latar belakang perusahaan; faktor citra produk franchise terdiri dari variabel merek (brand), pelayanan toko, dan penampilan toko; dan faktor motivasi yang terdiri dari motivasi pembelian dan mencari pengalaman bisnis.
2) Berdasarkan evaluasi tingkat kepentingan (ei) pada tahap awal analisis multiatribut fishbein menunjukkan bahwa semua atribut  dipertimbangkan oleh konsumen terbukti dari skor tingkat kepentingan atribut (ei) semuanya di atas nilai tiga. Atribut terpenting yang dipertimbangkan oleh konsumen yaitu sistem managemen franchise, lamanya pengembalian modal, dan pelayanan toko. Sedangkan atribut pemasok adalah atribut dengan tingkat kepentingan paling rendah.
3) Berdasarkan   penilaian   tingkat   kepercayaan   konsumen   (bi)   terhadap franchise Alfamart menunjukkan  bahwa atribut yang paling baik tingkat keyakinannya adalah atribut reputasi merek (brand) tertinggi yaitu sebesar  5,28.    Sedangkan    atribut    yang    dianggap    paling    kurang    tingkat keyakinannya   adalah   atribut   lamanya   pengembalian   modal,   hal   ini ditunjukkan  dari  skor  bi  yang terkecil  diantara  atribut-atribut  yang  lain yaitu hanya 4,65. Setelah mengalikan  skor ei  dengan bi didapatkan nilai sikap konsumen (Ao) terhadap kedua merek. Sikap franchise terhadap franchise Alfamart memilki nilai 436,73. Skor tersebut masuk ke dalam kategori mendekati baik. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan franchise memiliki sikap puas terhadap franchise Alfamart.
4) Dalam  analisis  lanjutan  evaluasi  atribut  terdapat  atribut-atribut   yang masuk kategori prioritas utama untuk dievaluasi  oleh pihak manajemen, yaitu   atribut   lamanya   pengembalian   modal   dan   sistem   managemen franchise.  Kedua atribut inilah yang harus menjadi prioritas utama karena menujukkan kinerja yang tidak baik.

B. Saran
Dengan  mengacu  pada  hasil  uraian tersebut,  saran  yang  bisa  diberikan adalah sebagai berikut :
1. Bagi franchisor (pewaralaba) yang ingin mengembangkan usaha di bidang ritel  (eceran)  perlu  mengkaji lebih  dalam  lagi  bagaimana  mengemas produk franchise yang mengutamakan pelayanan (service) dan penampilan produk sebab franchise sangat mementingkan kedua atribut tersebut. Pelayanan  (service)  dan penampilan  produk  bisa  menjadi  keunggulan suatu sistem franchise ditengah sengitnya persaingan produk sejenis yang dapat membedakannya dengan merek lain.
2. Bagi  pihak  Alfamart  perlu  dilakukan  penanganan  yang  segera  terhadap kinerja atribut lamanya pengembalian modal (PBP dan BEP) karena akan berdampak  signifikan  terhadap  perusahaan.  Salah  satu caranya,  yaitu dengan  melakukan  evaluasi  terhadap  kinerja  laporan  keuangan  semua outlet franchise Alfamart milik franchise di wilayah Jabotabek.. Selain itu, cara yang dapat dilakukan adalah managemen Alfamart harus mengidentifikasi  faktor-faktor  yang  menyebabkan  pengembalian  modal relatif lama.
3. Perlu   dilakukan   analisis   lebih   lanjut   mengenai   perumusan   strategi franchise Alfamart berdasarkan dengan penilaian kepuasan franchise terhadap Alfamart.

DAFTAR PUSTAKA
http://adamakalahlengkap.blogspot.co.id/2016/01/analisis-dan-evaluasi-faktor-yang.html
Anoraga, P. 1997. Manajemen Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta.
Budhisetiawan,.Y.  10  Februari  –  9  Maret  2006.  Minimarket  Investasi  Bisnis Tahan Banting. Info Franchise Indonesia No.01/1/, hal 18 – 25.
Departemen  Perindustrian  dan Perdagangan  Republik Indonesia. 1998. panduan Umum Pengembangan Kemitraan Waralaba Lokal. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta.
Karamoy, A. 1996. Sukses Usaha Lewat Waralaba. Jurnalindo  Aksara Grafika, Jakarta.
Kotter, P. 1997. Manajemen Pemasaran. (Terjemahan, Jilid 1). PT. Prenhallindo, Jakarta.
Lidia.  2001.  Evaluasi  Pelaksanaan  Pola  Waralaba  dan  Strategi  Pengembangan Usaha Makanan Siap Saji (FAST FOOD) DI CV X Jakarta. Skripsi pada Jurusan  Ilmu-Ilmu   Sosial  Ekonomi  Fakultas  Pertanian  Institut  Pertanian Bogor, Bogor.
Mandelshon,   M.   1993.   Franchising   Petunjuk   Praktis   bagi   Franchisor   dan Franchisee. Pustaka Binaman, Jakarta.
Marketing. 2005. Peritel Harus Menekan Cost. Edisi 12/V/Desember, hal 46. Novisar, D M.. 10 Januari – 09 Februari 2006. Bank HS 1906 Melirik Potensi Waralaba. Info Franchise Indonesia No.01/1/, hal 24 - 25.
Parinduri, F.R. 2004. Analisis Pengambilan Keputusan Konsumen dan Perceptual Mapping Mie Instan di Kota Bekasi (Kasus di Supermarket Hero, Matahari, dan Giant). Skripsi pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purba,  V.  1995.  Apa  dan  Bagaimana  Franchising  Dilihat  dari  Segi  Hukum. Makalah Disampaikan pada Seminar Dies Natalis UKI, Jakarta.




No comments:

Post a Comment