BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, serta peralatan rumah tangga lainnya, masyarakat telah dimudahkan dengan beragamnya usaha yang menawarkan alat-alat pemuas kebutuhan tersebut. Misalnya, warung di pinggir jalan, toko-toko kelontong, supermarket hingga hypermarket yang mulai banyak beroperasi khususnya di kota-kota besar. Jenis-jenis usaha di atas menjalankan apa yang dikenal dengan penjualan secara ritel atau eceran.
Menjamurnya pertumbuhan minimarket seperti Alfamart, Indomaret, Starmart, Circle K, pasar swalayan, toserba, dan pusat perbelanjaan eksklusif seperti Golden Truly, Hero, Sogo dan lain-lain, sebagai salah satu jaringan retail modern menunjukkan situasi persaingan semakin seru. Retail yang modern merupakan sarana yang tepat bagi usaha memperluas jangkauan pemasaran dengan frekuensi perputaran barang dan modal yang cepat. Bagi pedagang eceran skala besar maka strategi pangsa pasar adalah penting sekali. Salah satu cara untuk memperolehnya adalah dengan membuka cabang (chain store).
Model perdagangan eceran modern ini diperkirakan akan terus berkembang mengingat tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (Tabel 1). Seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomisnya, masyarakat makin membutuhkan kenyamanan berbelanja, higienitas barang, serta kualitas barang yang baik. Bila dalam dunia manufaktur, akibat kemajuan teknologi ada kecenderungan bahwa semakin besar skala usaha, semakin tinggi pula efisiensi usaha. Implikasinya ialah bahwa biaya per unit produksi cenderung menunjukkan arah yang menurun, sehingga dapat mengalahkan skala unit usaha manufaktur yang tidak dapat memanfaatkan economies of scale yakni unit usaha berskala kecil.
Tabel 1. Proporsi Pasar Ritel
|
Menanggapi kebutuhan dan tuntutan konsumen tersebut, perusahaan- perusahaan ritel modern lebih cerdik dan tanggap bertindak melalui strategi penjualan jitu, yang tidak hanya menawarkan produk berkualitas dengan harga yang lebih rendah (implikasi dari biaya per unit produksi rendah) bagi konsumen tetapi juga berbagai kenyamanan lain, seperti tersedianya lahan parkir, pendingin ruangan, garansi, penitipan barang, dan lain sebagainya. Lokasi yang tersebar di berbagai wilayah juga menambah kenyamanan bagi konsumen dalam berbelanja. Konsumen tidak perlu berpergian jauh untuk dapat memperoleh barang yang dibutuhkan. Karena salah satu elemen yang penting bagi uasaha ritel yaitu lokasi yang strategis. Lokasi yang dapat dipilih pun beragam, ada yang menyatu dengan pusat perbelanjaan tertentu, atau berdiri sendiri.
Bisnis ritel dengan konsep modern terus berkembang walaupun kondisi perekonomian sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi. Pada 2004, total bisnis retail secara nasional mencapai Rp 120 triliun. Sebanyak Rp 35 triliun dihasilkan oleh para peritel yang tergabung dalam asosiasi. Sisanya, yang mencapai 70%, masih dikuasai oleh small retailer. Sedangkan untuk tahun ini (2005), hingga akhir tahun target secara nasional yang ingin dicapai sebesar Rp 150 triliun. Aprindo sendiri menargetkan Rp. 45-50 triliun .
Dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 220 juta jiwa, persentase kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 52,83% dari rata- rata pengeluaran perkapita perbulan yang digunakan untuk konsumsi yang berhubungan dengan produk-produk makanan. Berdasarkan data tersebut, maka pasar yang dapat dinikmati oleh perusahaan ritel sangat menjanjikan. Terlebih lagi kebutuhan makanan yang merupakan kebutuhan primer akan selalu dicari oleh konsumen tanpa meliahat musim atau kondisi lainnya.
Jumlah pasar yang besar dan banyaknya perusahaan ritel yang menawarkan pemenuhan kebutuhan akan makanan serta keperluan rumah tangga lainnya, seperti mini market, supermarket, dan hypermarket, menyebabkan persaingan cenderung semakin ketat. Dengan kata lain kehadiran perusahaan ritel modern mengundang berbagai bentuk kekuatiran, yakni berupa tergilasnya pedagang eceran kecil atau hancurnya pasar-pasar tradisional. Di tengah persaingan yang sengit ini terbukti retail modern tumbuh pesat sementara beberapa yang lain – kebanyakan non-chain – tak tahan dan mati dimangsa pesaingnya.
Melihat fenomena diatas perusahaan ritel modern berlomba-lomba mengembangkan dan mempertahankan eksistensi usahanya dengan membuka cabang (chain-store) di tempat-tempat strategis. Salah satu pola yang marak dikembangkan saat ini yaitu melalui pola waralaba (franchising). Potensi pasar bisnis waralaba sangat besar terlihat dari populasi usaha-usaha franchise yang bermunculan di tanah air, baik lokal maupun asing3.
Usaha franchise di Indonesia mencatat pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Data yang ada menyebutkan, usaha franchise dan business opportunity tahun 2004 sebanyak 166 usaha. Setahun berikutnya (2005) angka tersebut melonjak tajam menjadi 273 usaha atau mengalami kenaikan sekitar 60% yang sepertiganya menawarkan jenis franchise. Jika dihitung rata-rata, baik lokal maupun asing, pertumbuhan usaha franchise mencapai.
B.Perumusan Masalah
Salah satu keunggulan industri ritel adalah karakteristiknya yang tahan banting. Situasi sulit hingga saat ini yang ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat tidak berpengaruh banyak terhadap sektor ini. Potensi pasarnya terus bergairah, terutama untuk produk kebutuhan sehari-hari karena masyarakat tidak pernah berhenti berkonsumsi. Tahun 2005, total omset ritel nasional secara keseluruhan mancapai Rp. 450 triliun. Tetapi untuk produk-produk kategori perdagangan kebutuhan sehari-hari pada tahun lalu mencapai Rp. 45 triliun. Dari angka itu, minimarket Alfamart menguasai 33% market share, berada di posisi kedua setelah Indomaret yang market sharenya mencapai 35% 5. Hal itu berarti, potensi minimarket sangat besar. Peluangnya pun hingga saat ini masih terbuka sangat lebar. Dari data yang ada, satu minimarket di Jabotabek melayani sekitar 35.000 jiwa. Masih terlalu besar. Perbandingannya dengan Jepang, satu minimarket melayani 15.000 jiwa, Singapura satu minimarket melayani 11.000 jiwa. Dari data tersebut, terlihat bahwa peluang usaha minimarket masih sangat besar.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa membutuhkan lebih dari dua juta titik outlet untuk melayani mereka. Idealnya, satu outlet melayani 1000 orang. Dari data yang ada, baik dari AC Nielson, dari lembaga riset Frontier dan dari beberapa riset perusahaan seperti Unilever dan Coca Cola, jumlah titik pengecer di seluruh Indonesia berkisar antara 1,9 hingga 2,3 juta. Jika dari jumlah itu seperempatnya saja yang dibutuhkan minimarket, maka harus tersedia sekitar 400.000 outlet. Sedangkan yang tersedia dari Alfamart dan Indomaret baru sekitar 3.000 outlet. Misalnya ditambah AMPM, Circle K dan sejumlah outlet minimarket lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Faktor-faktor apa yang mempengaruhi franchisee dalam proses keputusan pembelian franchise Alfamart?
2.Atribut-atribut apa saja yang dianggap penting oleh franchisee pada franchise yang ditawarkan?
3.Bagaimana sikap franchisee Alfamart terhadap atribut franchise Alfamart dan atribut apa saja yang harus mendapat evalusi dalam rangka perbaikan strategi franchise yang telah diterapkan PT. Sumber Alfaria Trijaya terhadap outlet Alfamart?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Perilaku Konsumen
Definisi perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995) adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, serta menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Istilah perilaku konsumen menurut Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003), diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, serta menghabiskan produk dan jasa yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhannya.
Perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995) dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor pengaruh lingkungan, perbedaan individu dan proses psikologis. Model dikembangkan untuk berbagai macam kegunaan, tetapi tujuan utama dari pengembangan model perilaku konsumen adalah : (1) membantu pengembangan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen, dan (2) sebagai bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus berkembang tentang perilaku konsumen. Salah satu model yang telah dikembangkan.
B.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian
Banyak faktor yang mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen, bisa berasal dari dalam diri konsumen maupun dari luar. Kottler (2002) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pembelian suatu produk, yaitu:
1.Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen terdiri dari budaya, sub budaya, kelas sosial, keluarga, dan situasi.
2.Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen terdiri dari kelompok acuan, keluarga, peran, dan status.
3.Faktor Pribadi
Terdiri dari usia, pekerjaan dan ekonomi individu, gaya hidup, dan kepribadian.
4.Faktor Psikologis
Mengemukakan empat faktor psikologis yang mempengaruhi proses keputusan pembelian. Terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, dan keyakinan / sikap.
Engel, dkk (1995) mengungkapkan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian produk, yaitu pertama faktor lingkungan, meliputi budaya, kelas sosial, pengaruh keluarga dan situasi. Kedua faktor perbedaan individu, meliputi sumber daya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup dan demografi. Ketiga faktor psikologis, meliputi pengolahan informasi, pembelajaran dan perubahan sikap atau perilaku. Model perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995).
C.Pemasaran
Pemasaran umumnya dipandang sebagai tugas untuk menciptakan, memperkenalkan, dan menyerahkan barang dan jasa kepada konsumen dan perusahaan (Kotler, 2000). Pemasaran bersandar pada konsep inti sebagai berikut : kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); Produk (barang, jasa dan gagasan); nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran dan transaksi; hubungan dan jaringan; pasar; serta pemasar dan calon pembeli digunakan untuk menyerahkan dan menerima pesan dari pembeli sasaran. Kedua saluran distribusi untuk memamerkan atau menyerahkan produk fisik atau jasa kepada pembeli atau pengguna. Ketiga saluran penjualan untuk mempengaruhi transaksi dengan pembeli potensial, saluran ini tidak hanya mencakup distributor dan pengecer melainkan juga bank dan perusahaan asuransi yang memudahkan transaksi.
Lingkungan pemasaran terdiri dari lingkungan tugas dan lingkungan luas. Lingkungan tugas mencakup aktor-aktor dekat yang terlibat dalam memproduksi, menyalurkan, dan mempromosikan tawaran. Sedangkan lingkungan luas terdiri dari enam komponen, yaitu : lingkungan demografis, lingkungan ekonomi, lingkungan alam, lingkungan teknologi, lingkungan hukum-politik, dan lingkungan sosial-budaya. Lingkungan luas mengandung kekuatan yang dapat membawa dampak utama bagi para pelaku di lingkungan tugas (Kotler, 2000).
D.Strategi Pemasaran
Pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2000). Pemasaran tidak hanya menjual produk-produk perusahaan, tetapi juga sebagai seni untuk mengidentifikasi dan memahami kebutuhan pelanggan dan menciptakan kepuasan pelanggan, memberikan keuntungan pada perusahaan dan pemodal di perusahaan tersebut.
Suatu perusahaan harus mampu merumuskan strategi pemasaran yang tepat agar dapat bersaing dengan perusahaan kompetitor lainnya dalam suatu industri. Strategi dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir selain itu strategi bukanlah sekedar suatu rencana (Jauch dan Glueck dalam Kotler, 2000). Strategi merupakan rencana yang disatukan, mengikat semua bagian perusahaan menjadi satu bagian dan bersifat menyeluruh pada tiap bidang di suatu perusahaan.
Strategi pemasaran merupakan prinsip-prinsip yang mendasari manajemen pemasaran untuk mencapai tujuan perusahaan (Kotler, 2000).
E.Bauran Pemasaran
Di dalam strategi pemasaran terdapat suatu konsep kunci dalam pemasaran modern yang dikenal dengan bauran pemasaran. Bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran (Kotler, 2000). Bauran pemasaran produk terdiri atas empat kelompok, yaitu (Kotler, 2000) :
1.Product (produk)
Produk adalah sesuatu yang ditawarkan individu, rumah tangga maupun organisasi ke dalam pasar dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Macam produk dapat dicirikan fisik, jasa layanan, prestise tempat, organisasi maupun ide.
2.Price (harga)
Harga merupakan jumlah uang tertentu yang harus dibayarkan oleh pelanggan untuk produk tertentu dan merupakan salah satu alat ukur besar kecilnya nilai kepuasan seseorang terhadap produk atau jasa yang dibeli.
3.Place (tempat distribusi)
Menyediakan produk kepada konsumen pada tempat, kualitas dan jumlah yang tepat. Tempat yang dimaksud adalah di mana konsumen dapat memperoleh produk tersebut atau saluran distribusi (cabang). Saluran distribusi adalah himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa selama berpindah dari produsen ke konsumen. Dalam pendistribusian, perusahaan membutuhkan penyalur baik dari internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Macam distributor antara lain agen, penyalur, distributor, pedagang besar, pengecer dan perwakilan dagang di luar negeri.
4.Promotion (promosi)
Promosi menunjukkan pada berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mengkomunikasikan kebaikan produknya, membujuk dan mengingatkan para pelanggan dan konsumen sasaran untuk membeli produk tersebut.
F.Saluran Distribusi
Mengalirnya barang dari tempat produksi ke tempat untuk siap dibeli pada prinsipnya menempuh dua macam jalur. Yang pertama jalur kepemilikan, yaitu lembaga-lembaga pemasaran yang menangani, mencangkukp produsen, distributor, pedagang besar, pedagang eceran. Sedangkan yang kedua adalah jalur fisik, meliputi, pengangkutan, pergudangan dan bongkar muat. Kedua jalur itu sebenarnya terkait erat, meski dalam banyak hal tidak sejalan. Penyebabnya karena banyak lembaga pemasaran tidak sekaligus langsung menangani distribusi fisiknya, melainkan diserahkan kepada perusahaan lain yang menangani pengangkutan, pergudangan dan bongkar muat. Pada tulisan ini aspek yang ingin ditekankan adalah jalur kepemilikannya, yaitu grosir dan lembaga pengecer (pedagang eceran). Sebagai lembaga penyalur yang menyampaikan barang, maka sebenarnya lembaga pengecer inilah yang langsung berkecimpung dalam pelaksanaan penjualan. Dalam pelaksanaan penjualan ada tiga kegiatan utama yang dilakukan, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Antara ketiga kegiatan tersebut ada saling interaksi dan ketergantungan satu sama lain. Untuk sampai pada konsumen ada berbagai cara pendistribusian barang, langsung maupun tidak langsung.
G.Franchise (Waralaba)
Kata franchise berasal dari bahasa Perancis affanchir yang berarti bebas dari kungkungan/belenggu (free from servitude). Di sini hakekat dari pengertian waralaba adalah mandiri/bebas. Waralaba berasal dari kata wara (lebih/istimewa) dan laba (untung). Jadi waralaba berarti suatu bentuk kemitraan usaha antara pengwaralaba (franchisor) dengan pewaralaba (franchisee), yang saling menguntungkan dan diatur oleh Standard Operation Prosedure (SOP). SOP ini ditetapkan oleh pengwaralaba (franchisor) untuk menjaga bentuk produk, standarisasi mutu dan pelayanan.
Dalam bahasa Indonesia kata franchise dipadankan dengan kata waralaba. Kata waralaba pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) UI, sebagai padanan kata franchise. Tetapi waralaba bukan terjemahan langsung dari kata franchise.
Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu. Rincian padanan kata untuk sistem keterkaitan usaha waralaba dengan franchise dari kata Inggris dan Indonesia.
Pengertian franchise menurut Anoraga (1997) merupakan suatu sistem bagi distribusi selektif bagi barang dan/atau jasa di bawah suatu nama merek melalui tempat penjualan yang dimiliki oleh pengusaha independen yang disebut franchisee (pewaralaba), walaupun pemberi hak franchise (franchisor) memasok franchisee (pewaralaba) dengan pengetahuan atau identifikasi merek secara terus-menerus, dan franchisee (pewaralaba) menikmati hak atas profit yang diperoleh dan menanggung resiko kerugian. Franchisor (pengwaralaba) mengendalikan distribusi barang dan/atau jasanya melalui suatu kontrak dengan mengatur aktivitas dalam hubungannya untuk mencapai standarisasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Mendelshon (1993) yang menyatakan bahwa franchising merupakan karakter dagang dimana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan franchise (lisensi) kepada orang lain, dimana dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama.
Tabel . Padanan Franchise dalam Bahasa Asing dan Pengertiannya
|
BAB III
PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum Perusahaan
1.Sejarah Perusahaan
PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT) merupakan perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan didirikan pada tahun 1999. Pada bulan Agustus 2002 SAT memfokuskan kegiatan usahanya melalui jaringan mini market dengan nama “Alfamart”, dengan mengakuisisi aktiva milik PT Alfa Mitramart Utama. Pada akhir bulan Desember tahun 2005, jumlah jaringan mini market Alfamart adalah sebanyak 1293 toko yang tersebar di wilayah Jabotabek, Bandung, Cirebon, Cilacap dan Surabaya. Kantor pusat perusahaan berlokasi di Cileungsi, Jawa Barat, sementara kegiatan operasional toko dikoordinasikan melalui 7 cabang yang terletak di Serpong, Bekasi, Cileungsi, Bandung, Cirebon, Cilacap dan Surabaya. SAT merupakan anak perusahaan dari PT HM Sampoerna Tbk. (70%), sementara pemegang saham lainnya adalah PT Sigmantara Alfindo (30%).
2.Visi, Misi dan Target Pasar
a.Visi SAT adalah menjadi jaringan distribusi retail terkemuka di Indonesia yang mampu bersaing di pasar global, dimiliki oleh masyarakat luas dan berorientasi pada pemberdayaan pengusaha kecil.
b.Misi SAT
•Memuaskan kebutuhan dan harapan franchise dengan memfokuskan diri pada produk dan layanan berkualitas tinggi
•Mengembangkan semangat dan kemampuan wiraswasta di dalam perusahaan dan masyarakat.
•Mengimplementasikan etika bisnis dalam usaha kita untuk memberikan yang terbaik dalam setiap tindakan.
•Mengembangkan suatu organisasi yang terpercaya, sehat dan selalu berkembang, yang dapat memberikan keuntungan pada franchise, Pemasok (supplier), karyawan, pemilik saham dan masyarakat.
c.Target Pasar
Alfamart memfokuskan usahanya pada penyediaan kebutuhan pokok dan sehari-hari dengan luas area penjualan tidak lebih dari 250 m2. Target pasar Alfamart dapat dikelompokkan menurut 3 perspektif berikut:
•Geografis: area perumahan, fasilitas publik, gedung perkantoran
•Demografis: ibu rumah tangga, anak-anak, kelas ekonomi menengah (SES B&C = ekonomi menengah dan bawah)
•Psikografis: kenyamanan, pelayanan yang ramah
3.Model Bisnis
Saat ini SAT telah mengembangkan 3 model bisnis sebagai berikut:
1.Toko Reguler
Merupakan toko yang dimiliki dan dikelola oleh SAT
2.Toko Franchise (Waralaba)
Merupakan toko yang dimiliki dan dikelola oleh franchise yang diatur dengan perjanjian waralaba dengan SAT. Toko ini memakai merk dagang dan sistem Alfamart.
3.Toko Take Over
Merupakan toko Reguler yang diambil alih oleh franchise. Toko ini juga memakai merek dagang dan sistem Alfamart. Pada akhir bulan Desember 2005, dari 1293 toko Alfamart, ± 20% diantaranya merupakan Toko Kemitraan Franchise (Waralaba) dan Operator Mandiri. Kerjasama kemitraan Alfamart telah dilakukan antara lain dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat (PUSKOPAD) Jabotabek, PUSKOPOLDA Jawa Barat, INKOWAPI, Koperasi Pegawai Telkom Surabaya, Koperasi Saudara Zakka Serpong dan beberapa orang secara individual. Di masa yang akan datang, SAT merencanakan untuk memfokuskan pengembangan usahanya pada model bisnis toko Franchise (Waralaba) dan toko Operator Mandiri.
4.Tipe Toko
Untuk memenuhi kebutuhan franchise dan mengatasi kendala keterbatasan area penjualan yang diinginkan (karena hampir seluruh lokasi toko Alfamart sewa dari pihak ketiga), manajemen SAT mengembangkan 6 tipe toko mengacu pada jumlah rak yang ada. Tipe 9 berarti toko tersebut memiliki 9 rak, dan seterusnya.
Tabel Tipe toko Alfamart
Tipe
Toko
|
Luas area
penjualan (m2)
|
Jumlah
item barang
yang dijual
|
9
|
30
|
1.200
|
18
|
40
|
1.800
|
27
|
60
|
2.200
|
36
|
80
|
2.500
|
45
|
100
|
3.000
|
54
|
120
|
3.500
|
5.Model Bisnis Waralaba (Franchise)
Model bisnis Waralaba dikembangkan oleh manajemen SAT sejalan dengan visi dan misi perusahaan untuk menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki oleh masyarakat luas. Model bisnis waralaba ini lebih ditujukan kepada investor yang mempunyai dana yang cukup, untuk memiliki toko Alfamart.
a.Siapa Yang Dapat Menjadi Penerima Waralaba
Yang dapat menjadi penerima Waralaba adalah Perorangan atau Badan Usaha (CV, PT, Koperasi, dsb) yang sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas minimal 90 m2 untuk area penjualan (di luar gudang) dan mempunyai dana yang cukup untuk mendirikan usaha Minimarket serta bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di Alfamart.
b. Proses Menjadi Penerima Waralaba Alfamart
Ada beberapa tahap yang harus dilalui didalam menjadi penerima waralaba Alfamart, tahap-tahap tersebut dapat antara lain:
Gambar 7. Tahapan Penerimaan Waralaba Alfamart
c. Potensi Lokasi Untuk Minimarket
Indikator potensi lokasi untuk minimarket adalah berdasarkan pada segmentasi pasar golongan menengah ke bawah yang di sekitarnya terdapat komunitas penduduk yang merupakan target pasar dan mempunyai kemampuan daya beli. Posisi Alfamart adalah kategori Grocery Store yang menyediakan barang untuk kebutuhan keluarga atau individu, jadi secara umum indikator penilaian terhadap suatu lokasi berdasarkan akses, keadaan lingkungan, arus lalu-lintas, perkembangan pembangunan, keberadaan pesaing dan sebagainya.
d. Kewajiban-Kewajiban Pembayaran
Dalam hal ini franchise mempunyai kewajiban pembayaran atas biaya fee, dengan perincian sbb:
1.Franchise Fee yang berlaku selama 5 tahun sebesar Rp45.000.000,- (belum termasuk PPn 10 %). Hak Penerima Waralaba terhadap pembayaran Franchise Fee meliputi merk dagang (Alfamart), Pengetahuan Retail Modern, Pelatihan Retail, Software retail, management back up, manual operasi, supervisi rutin, bantuan promosi, supply barang, other income, jaringan alfamart, laporan keuangan dan perpajakan.
2.Royalty Fee dihitung secara progresif dari total penjualan bersih perbulan. Tarif royalty fee yang berlaku adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Tarif royalty fee
Penjualan Bersih
|
Persentase
|
Rp. 0 s/d Rp. 75.000.000.
|
0 %
|
Rp. 75.000.000. s/d Rp. 100.000.000
|
2 %
|
Rp. 100.000.000. s/d Rp. 150.000.000.
|
2.5 %
|
> Rp. 150.000.000.
|
3 %
|
Sehingga dalam hal ini bisa di tarik kesimpulan bahwa pengenaan Royalty Fee sangat tergantung pada besar kecilnya penjualan bersih.
3.Administration Fee yang di dibebankan setiap bulan kepada franchise sebesar Rp. 600.000,- (belum termasuk PPn 10 %). Dalam hal ini administrasi fee digunakan untuk biaya pembuatan administrasi laporan keuangan dan perpajakan setiap bulan.
4.Distribution Fee dihitung dari 2 % dikalikan pembelian bersih (setelah dikurangi return). Dalam hal ini distribution fee digunakan untuk biaya pengiriman dari gudang Alfamart sampai ke gudang toko.
B.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian
Franchise Alfamart
Analisis faktor digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi franchise dalam proses pembelian franchise Alfamart. Metode ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara jumlah variabel-variabel yang saling bebas satu dengan lainnya, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel (faktor) yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal, tetapi tetap mencerminkan variabel aslinya. Pada penelitian ini, terdapat 25 variabel yang akan dianalisis namun variabel yang lolos dalam uji validitas berjumlah 24 variabel. Hanya 1 variabel yang direduksi karena tidak valid, yaitu variabel keuntungan (return). Adapun keduapuluh empat variabel termasuk di dalamnya adalah (X1) Besarnya Investasi, (X2) Reputasi merek, (X3) Jaringan toko/branch, (X5) Teman/kenalan, (X6) Keluarga, (X7) Jiwa wirausaha, (X8) Pengalaman bisnis ritel, (X9) Sistem managemen, (X10) PBP dan BEP, (X11) Ketersediaan dana, (X12) Promosi, (X13) Pelatihan Managemen, (X14) Kualitas franchise, (X15) Latar belakang perusahaan, (X16) Harga jual produk, (X17) Variasi produk (X18) Pemasok (supplier), (X19)Pelayanan toko, (X20) Penampilan toko, (X21) Komunikasi dengan franchisor, (X22) SOP (Standard Operation Procedure), (X23) Potensi bisnis ritel, (X24) Motivasi pembelian, (X25) Mencari pengalaman. Langkah pertama adalah menilai variabel yang dianggap layak untuk dimasukkan kedalam analisis selanjutnya. Dari hasil perhitungan komputer dengan menggunakan program SPSS 11.5 diperoleh output hasil pengolahan awal analisis faktor (Lampiran 4). Hasil pengolahan memperlihatkan angka Keiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (K-M-O MSA) mencapai 0,637 dengan signifikansi 0,000 dan angka chi square pada uji Barlett sebesar 537,759 K- M-O adalah indeks pembanding besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial, sedangkan Barlett Test of Sphericity digunakan untuk menguji apakah matriks korelasi tersebut merupakan matriks identitas atau bukan, karena matriks identitas tidak dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Karena angka KMO sudah di atas 0,5 dan signifikansi jauh di bawah 0,05 (0,000<0,05), maka semua variabel bisa dianalisis lebih lanjut.
Dalam perhitungan Tabel Anti-Image Matrix (Anti Image Correlation) pada Lampiran 5 didapatkan variabel yang memiliki nilai MSA (angka korelasi yang bertanda “a”) di bawah 0,5, yaitu variabel keluarga (0,438a). Dengan demikian perlu dilakukan pengujian ulang analisis faktor tersebut dengan mengeluarkan variabel keluarga dari analisis faktor. Setelah dilakukan pengujian ulang, kini tidak ada variabel yang memiliki MSA dibawah 0,5 sehingga tidak perlu dilakukan pengujian ulang lagi terhadap analisis faktor tersebut. Dapat dilihat pada Lampiran 4 terjadi kenaikan angka K-M-O MSA setelah pengujian ulang tersebut.
Langkah berikutnya adalah melakukan proses inti dari analisis faktor, yakni mengekstraksi sekumpulan variabel yang tersisa sebanyak 23 variabel.sehingga terbentuk satu atau lebih faktor. Metode yang digunakan dalam proses ekstraksi ini adalah Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis). Setelah proses ekstraksi dilakukan, maka diperoleh nilai communalities. Communalities pada dasarnya jumlah keragaman dari suatu variabel mula-mula yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Semakin tinggi nilai communality sebuah variabel, berarti semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk dan semakin besar juga keragaman variabel tersebut dengan faktor yang terbentuk.
Untuk variabel motivasi pembelian menunjukkan nilai communality sebesar 0,862, artinya sekitar 86,2% keragaman dari variabel motivasi pembelian dapat dijelaskan oleh faktor yang nanti akan terbentuk. Kemudian pada variabel komunikasi dengan franchisor nilai communality sebesar 0,825, artinya sekitar 82,5% keragaman dari variabel komunikasi dengan franchisor dapat dijelaskan oleh faktor yang nanti akan terbentuk. Demikian seterusnya untuk variabel yang lainnya, dengan ketentuan bahwa semakin besar nilai communalitiy suatu variabel, berarti semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. Tabel 10 menunjukkan nilai communalities dari 23 variabel yang dianalisis berdasarkan urutan terbesar hingga terkecil.
Tabel 10. Urutan nilai communality masing-masing variabel
No.
|
Variabel
|
Communality
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23
|
Motivasi pembelian
Komunikasi dg Franchisor
Pemasok (supplier) Toko
Pelatihan Manajemen
Latar Belakang Perusahaan
Jaringan toko (branch)
SOP (Standard Operation Prosedure)
Teman/kenalan
PBP dan BEP
Pelayanan toko
Harga jual produk
Kualitas Franchise
Pengalaman bisnis ritel
Penampilan toko
Besar Investasi
Ketersediaan dana (financial)
Jiwa wirausaha
Merek (brand)
Mencari pengalaman bisnis
Promosi
Variasi produk
Potensi bisnis ritel
Sistem managemen franchise
|
.862
.825
.792
.787
.783
.770
.766
.759
.759
.756
.751
.750
.729
.714
.708
.693
.681
.677
.665
.639
.590
.550
.546
|
Dalam pengolahan ini terbentuk enam faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian franchise Alfamart. Pembentukan faktor-faktor ini terdapat pada Tabel total variance explained disajikan pada Lampiran 6. Pada tabel tersebut terlihat keenam faktor yang terbentuk ini memiliki angka eigencvalue di atas 1 dan dapat menjelaskan 71,960% dari total keragaman faktor yang terbentuk. Eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing- masing faktor dalam menghitung keragaman 23 variabel yang dianalisis.
Jika Tabel total variance menjelaskan dasar jumlah faktor yang didapat dengan perhitungan angka, maka untuk menampilkan hal tersebut dengan grafik dapat dilihat pada Scree Plot (Lampiran 7), yaitu grafik yang menunjukkan dampak factoring terhadap angka eigenvalue. Terlihat bahwa dari faktor satu ke faktor dua (garis dari sumbu Component Number = 1 ke 2), arah garis menurun dengan cukup tajam. Kemudian dari faktor 2 ke 3, garis masih menurun. Demikian pula dari faktor 3 ke 4, 4 ke 5, 5 ke 6 masih tetap menurun, akan tetapi dengan sudut lebih kecil. Namun, setelah faktor 6 angka eigenvaluenya sudah di bawah angka 1 dari sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meringkas keduapuluh tiga tersebut sangat tepat, jika dibentuk enam faktor. Analisis selanjutnya dilakukan pada Component Matrix pada Tabel 11 yang menunjukkan distribusi dari 23 variabel pada enam faktor yang menunjukkan distribusi dari 23 peubah pada enam faktor yang terbentuk. Sedangkan angka-angka yang ada pada tabel tersebut adalah factor loadings, yang menunjukkan besar korelasi antara suatu variabel dengan faktor pertama sampai keenam. Proses penentuan variabel asal kedalam faktor dilakukan dengan melakukan perbandingan besar korelasi setiap baris yang didasarkan pada angka mutlak terbesar dari nilai factor loadings yang diberikan setiap variabel terhadap masing-masing faktor.
Dalam Tabel component matrix ini, masih ada beberapa variabel yang tidak terlihat perbedaan nyata pada nilai loading factor, sehingga sulit untuk menentukan variabel tersebut termasuk faktor yang mana. Hal ini terlihat dari masih ada nilai loading factor yang di bawah 0,5, yaitu pada variabel Latar belakang perusahaan. Padahal syarat suatu variabel masuk ke dalam suatu faktor, nilai loading factor harus di atas 0,5. Untuk melihat perbedaan yang nyata pada nilai loading factor dari setiap variabel, maka harus dilakukan proses rotasi. Rotasi dalam penelitian ini adalah rotasi dengan metode Varimax, yang bertujuan untuk memperbesar nilai loading factor yang dulunya memang sudah besar dan memperkecil nilai loading factor yang dulunya memang sudah kecil, sehingga diperoleh distribusi loading factor yang lebih jelas dan nyata.
Hasil dari rotasi Varimax ini tidak merubah jumlah faktor yang telah terbentuk, melainkan hanya merubah nilai loading factor saja. Berdasarkan hasil dari rotasi pada Tabel rotated component matrix (Tabel 12), setiap variabel yang terdapat pada faktor yang terbentuk tersebut harus memenuhi ketentuan cut off point, dimana nilai loading factor-nya harus lebih besar dari
0,55, agar variabel tersebut secara nyata termasuk ke dalam bagian dari suatu faktor. Dari 23 variabel yang ada pada Tabel rotated component matrix hanya
21 variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam keenam faktor yang telah terbentuk. Terdapat 2 variabel yang tidak memenuhi ketentuan cut off point yaitu variabel pengalaman bisnis ritel dan variabel potensi bisnis ritel.
C. Analisis Sikap Franchise Terhadap Atribut Franchise Alfamart
Analisis Tingkat Kepentingan (evaluation)
Pada analisis ini peneliti menggunakan model sikap multiatribut fishbein yang berfokus pada prediksi sikap yang dibentuk oleh seseorang terhadap suatu objek tertentu, dalam hal ini adalah atribut-atribut yang melekat pada sistem franchise. Berdasarkan data primer yang didapatkan dari 40 orang responden dapat diketahui penilaian franchise dalam bentuk skor kepercayaan (bi) dan skor evaluasi kepentingan (ei) terhadap atribut franchise. Setelah melalui perhitungan dapat diketahui sikap franchise terhadap atribut-atribut franchise.
Disajikan hasil evaluasi tingkat kepentingan (ei) terhadap atribut franchise sesuai dari urutan skor tertinggi sampai terendah. Evaluasi menggambarkan pentingnya suatu atribut bagi franchise. Mereka akan menganggap artibut produk memiliki tingkat kepentingan yang berbeda. Kemudian franchise akan mengevaluasi kepentingan atribut tersebut. Franchise akan mengidentifikasi atribut-atribut yang dimiliki objek yang akan dievaluasi. Dalam penelitian ini evaluasi kepentingan atribut diukur dengan skala likert, mulai dari 1 = sangat tidak penting, 2 = tidak penting, 3 = kurang penting, 4 = cukup penting, dan 5 = penting, 6 = sangat penting.
Tabel 14. Skor tingkat kepentingan (ei) responden terhadap atribut franchise
No.
|
Atribut
|
Frekuensi pada tiap nilai skala
|
Skor Evaluasi
(ei)
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|||
1
|
Sistem managemen
|
0
|
0
|
0
|
0
|
13
|
27
|
5.70
|
2
|
PBP dan BEP
|
0
|
0
|
0
|
2
|
10
|
28
|
5.65
|
3
|
Pelayanan toko
|
0
|
0
|
1
|
1
|
10
|
28
|
5.63
|
4
|
Komunikasi
dengan franchisor
|
0
|
0
|
0
|
4
|
9
|
27
|
5.58
|
5
|
Penampilan toko
|
0
|
0
|
0
|
1
|
16
|
23
|
5.55
|
6
|
SOP (Standard Operation Procedur)
|
0
|
0
|
0
|
1
|
16
|
23
|
5.55
|
7
|
Kualitas franchise
|
0
|
0
|
0
|
3
|
13
|
24
|
5.53
|
8
|
Besarnya investasi
|
0
|
0
|
0
|
3
|
14
|
23
|
5.50
|
9
|
Latar belakang perusahaan
|
0
|
0
|
0
|
4
|
15
|
21
|
5.43
|
10
|
Harga produk
|
0
|
1
|
1
|
1
|
14
|
23
|
5.43
|
11
|
Variasi produk
|
0
|
0
|
0
|
2
|
19
|
19
|
5.43
|
12
|
Promosi
|
0
|
0
|
0
|
4
|
16
|
20
|
5.43
|
13
|
Branch
|
0
|
0
|
0
|
3
|
19
|
18
|
5.40
|
14
|
Pelatihan managemen
|
0
|
0
|
0
|
3
|
22
|
15
|
5.30
|
15
|
Reputasi merek (Brand)
|
0
|
2
|
1
|
4
|
14
|
19
|
5.25
|
16
|
Pemasok (supplier)
|
0
|
0
|
2
|
5
|
21
|
12
|
5.18
|
Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa semua atribut dipertimbangkan oleh franchise, hal ini ditunjukkan dari skor ei untuk semua atribut di atas 3,00, namun tingkat kepentingan masing-masing atribut berbeda. Dari keenam belas atribut franchise Alfamart yang dievaluasi responden, atribut managemen profesional memiliki skor ei tertinggi yaitu sebesar 5,70 yang menunjukkan bahwa atribut ini adalah atribut yang paling penting dan diinginkan oleh franchise. Franchise merasa bahwa sistem managemen adalah hal yang paling utama harus dipertimbangkan dalam memilih bisnis franchise karena dengan sistem managamen yang profesional suatu bisnis apapun itu dapat terorganisisr dengan baik sehingga dapat tetap bertahan dan eksis dalam kondisi bisnis yang seburuk apapun.
Atribut penting kedua menurut evaluasi franchise adalah Lamanya pengembalian modal/PBP (Pay Back Period) dengan skor ei sebesar 5,65 sehingga dapat dikatakan bahwa lamanya pengembalian modal/PBP (Pay Back Period) dianggap penting bagi franchise setelah atribut sistem managemen. Pertimbangan franchise akan pentingnya lamanya pengembalian modal/PBP (Pay Back Period) karena semakin cepat modal dapat kembali akan semakin menarik dan menjanjikan suatu bisnis bagi franchise. Atribut penting yang ketiga adalah pelayanan toko dengan ei sebesar 5,63. Hal ini berarti franchise menyadari bahwa ditengah persaingan sengit bisnis ritel saat ini, para konsumen akhir yang nantinya akan membeli produk franchisenya perlu sesuatu yang lebih dari sekedar kualitas ataupun keunikan suatu produk. Pelayanan (service) yang baik adalah hal dapat diberikan lebih kepada konsumen akhir sehingga dapat membedakannya dengan produk yang ditawakan oleh kompetitor. Sedangkan dalam persepsi franchise untuk atribut pemasok (supplier) merupakan hal yang sangat tidak penting.
Analisis Tingkat Kepercayan (belief)
Hasil dari penilaian tingkat kepercayaan (bi) franchise didapat skor rata-rata kepercayaan terhadap atribut-atribut franchise Alfamart. Skor kepercayaan menggambarkan seberapa besar franchise percaya bahwa suatu atribut melekat pada suatu merek.
Dari Tabel 15 bisa diketahui bahwa atribut reputasi merek (brand) adalah yang paling bagus kinerjanya menurut persepsi franchise berdasarkan kenyataan yang dirasakan oleh franchise setelah bergabung dengan Alfamart. Karena atribut ini mendapat perolehan skor yang terbesar diantara antribut lain yaitu sebesar 5,28. Walaupun pada penilaian tingkat kepentingan/evaluasi, atribut ini memiliki perolehan skor terendah kedua (ei= 5,25) setelah atribut pemasok (supplier). Hal ini mengintrepretasikan bahwa atribut reputasi merek yang pada awalnya dirasakan sangat tidak penting ternyata terbukti dan diyakini oleh franchise paling baik kinerjanya karena reputasinya yang sangat terpercaya.
Tabel 15. Frekuensi skor tingkat kepercayaan (bi) atribut franchise Alfamart.
No.
|
Atribut
|
Frekuensi pada tiap nilai skala
|
Skor Kepercayaan (bi)
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|||
1
|
Reputasi merek (Brand) baik
|
0
|
0
|
0
|
2
|
25
|
13
|
5.28
|
2
|
Branch banyak
|
0
|
1
|
0
|
1
|
24
|
14
|
5.25
|
3
|
Pelayanan toko
baik
|
0
|
0
|
1
|
4
|
21
|
14
|
5.20
|
4
|
Pemasok (supplier) jelas
|
0
|
0
|
1
|
5
|
20
|
14
|
5.18
|
5
|
Penampilan
toko rapi
|
0
|
0
|
1
|
6
|
19
|
14
|
5.15
|
6
|
SOP (Standard Operation
Procedur) jelas
|
0
|
0
|
1
|
6
|
22
|
11
|
5.08
|
7
|
Kualitas franchise terjamin
|
0
|
0
|
0
|
7
|
24
|
9
|
5.05
|
8
|
Latar belakang perusahaan terpercaya
|
0
|
0
|
0
|
8
|
22
|
10
|
5.05
|
9
|
Besarnya investasi
terjangkau
|
0
|
0
|
1
|
9
|
20
|
10
|
4.98
|
10
|
Komunikasi dengan
franchisor lancar
|
0
|
1
|
0
|
10
|
17
|
12
|
4.98
|
11
|
Promosi menarik
|
0
|
1
|
1
|
7
|
22
|
9
|
4.93
|
12
|
Sistem managemen professional
|
0
|
0
|
1
|
11
|
19
|
9
|
4.90
|
13
|
Variasi produk lengkap
|
0
|
0
|
3
|
10
|
18
|
9
|
4.83
|
14
|
Harga produk murah
|
0
|
1
|
3
|
12
|
14
|
10
|
4.73
|
15
|
Pelatihan berkelanjutan
|
0
|
3
|
1
|
8
|
22
|
6
|
4.68
|
16
|
PBP (Pay
Back Period)
cepat
|
0
|
1
|
2
|
13
|
18
|
6
|
4.65
|
Dapat dikatakan juga dalam membentuk sikap terhadap franchise Alfamart, franchise mempunyai keyakinan (belief) bahwa reputasi merek (brand) adalah yang paling baik dibandingkan atribut lain yang melekat pada franchise Alfamart. Sedangkan atribut PBP (Pay Back Period) adalah atribut yang paling rendah atau tidak mendapat respon yang baik dari franchise karena pada kenyataannya lamanya pengembalian modal tidak cepat. Padahal atribut ini sebelumnya mendapat skor tertinggi kedua (ei = 5,65) setelah atribut sistem managemen pada penilaian tingkat kepentingan/evaluasi. Hal ini membuktikan bahwa atribut ini sangat tidak sesuai dengan harapan franchise.
Analisis Sikap Franchise
Nilai sikap franchise untuk franchise Alfamart didapatkan setelah mengalikan antara skor evaluasi kepentingan (ei) masing- masing atribut dengan skor kepercayaan (bi). Apabila nilai sikap untuk masing-masing atribut dijumlahkan maka akan didapat nilai sikap secara keseluruhan untuk franchise Alfamart. Tabel 16 memperlihatkan hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap Alfamart diurutkan dari yang terbesar.
Tabel 16. Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap Alfamart.
No
|
Atribut
|
Skor Evaluasi
Kepentingan (ei)
|
Skor Kepercayaan
ALFAMART
|
|
bi
|
Ao (ei bi)
|
|||
1
|
Pelayanan toko
baik
|
5.63
|
5.20
|
29.25
|
2
|
Penampilan toko rapi
|
5.55
|
5.15
|
28.58
|
3
|
Branch banyak
|
5.43
|
5.25
|
28.48
|
4
|
SOP (Standard Operation
Procedur) jelas
|
5.55
|
5.08
|
28.17
|
5
|
Sistem managemen professional
|
5.70
|
5.05
|
27.93
|
6
|
Kualitas franchise terjamin
|
5.53
|
4.90
|
27.90
|
7
|
Komunikasi dengan
franchisor lancer
|
5.58
|
4.98
|
27.74
|
8
|
brand baik
|
5.25
|
5.05
|
27.69
|
9
|
Latar belakang perusahaan terpercaya
|
5.43
|
4.98
|
27.40
|
10
|
investasi terjangkau
|
5.50
|
5.18
|
27.36
|
11
|
Pemasok (supplier) jelas
|
5.18
|
5.28
|
26.78
|
12
|
promosi menarik
|
5.40
|
4.93
|
26.60
|
13
|
PBP cepat
|
5.65
|
4.65
|
26.27
|
14
|
variasi produk lengkap
|
5.43
|
4.83
|
26.18
|
15
|
harga produk murah
|
5.43
|
4.73
|
25.63
|
16
|
Pelatihan berkelanjutan
|
5.30
|
4.68
|
24.78
|
Σ ei.bi
436.73
|
Ao (Sikap Konsumen) secara keseluruhan adalah 436,43. Angka tersebut digunakan untuk mengetahui skala penilaian sikap franchise terhadap atribut franchise Alfamart. Terlebih dahulu dihitung skor dari tiap penilaian sikap yang ditampilkan dalam Berdasarkan skala perhitungan dalam Gambar 14 maka didapat hasil penelitian sikap franchise terhadap franchise Alfamart dengan nilai 436,73. Skor tersebut masuk ke dalam kategori mendekati baik (lihat Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan franchise memiliki sikap puas terhadap franchise Alfamart.
Atribut franchise Alfamart yang memiliki skor sikap tertinggi adalah aribut pelayanan toko sebesar 29,25. Bila kita melihat lagi pada penilaian kepentinag (ei) dan kepercayaan (bi) atribut pelayanan toko masuk peringkat tiga besar. Hal ini menunjukkan bahwa atribut inilah yang memiliki performa yang dirasakan paling baik oleh franchise dibandingkan atribut lainnya. Karena atribut ini dirasakan yang paling sesuai dengan harapan dari kenyataannya.
Para franchise memiliki persepsi yang baik terhadap atribut franchise Alfamart secara keseluruhan. Penilaian secara keseluruhan dari atribut-atribut tersebut adalah franchise Alfamart yang ditawarkan walaupun tidak menjanjikan pengembalian modal yang cepat namun pelayanan (service) dalam melayani konsumen akhir di outlet Alfamart serta penampilan toko yang rapi dan menarik, membuat franchise tetap akan membeli franchise Alfamart karena kekurangan dalam hal pengembalian modal dikompensasi oleh keunggulan dalam hal pelayanan dan penampilan outlet Alfamart yang membuat franchise tertarik untuk membeli bisnis franchise Alfamart.
Skala nilai sikap franchise
Tabel Rentang nilai (skala) total sikap (Ao)
Skala Penilaian
|
Kategori
|
0 –
87,50
|
sangat tidak baik
|
87,50 – 174,00
|
tidak baik
|
174,00 – 262,50
|
kurang baik
|
262,50 – 350,00
|
cukup baik
|
350,00 – 437,50
|
baik
|
437,50 – 525,00
|
sangat baik
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian diatas maka dapat ditarik disimpulkan sebagai berikut :
1) Variabel-variabel yang mempengaruhi proses keputusan pembelian franchise Alfamart dapat diringkas menjadi enam faktor utama. Hasil analisis faktor meringkas variabel-variabel yang diteliti yaitu sebanyak 21 variabel yang tersisa menjadi enam faktor yaitu: faktor pendorong/pengaruh utama terdiri dari teman, jiwa wiraswasta, promosi, harga jual produk, variasi produk, dan pemasok (supplier); faktor sistem dan informasi franchise terdiri dari variabel sistem managemen franchise, kualitas franchise, komunikasi dengan franchisor, dan SOP (Standard Operation Prosedure); faktor analisis keuangan franchise yang terdiri dari variabel besar investasi, PBP dan BEP, ketersediaan dana; faktor citra perusahaan yang terdiri dari variabel jaringan toko (branch), pelatihan managemen, dan latar belakang perusahaan; faktor citra produk franchise terdiri dari variabel merek (brand), pelayanan toko, dan penampilan toko; dan faktor motivasi yang terdiri dari motivasi pembelian dan mencari pengalaman bisnis.
2) Berdasarkan evaluasi tingkat kepentingan (ei) pada tahap awal analisis multiatribut fishbein menunjukkan bahwa semua atribut dipertimbangkan oleh konsumen terbukti dari skor tingkat kepentingan atribut (ei) semuanya di atas nilai tiga. Atribut terpenting yang dipertimbangkan oleh konsumen yaitu sistem managemen franchise, lamanya pengembalian modal, dan pelayanan toko. Sedangkan atribut pemasok adalah atribut dengan tingkat kepentingan paling rendah.
3) Berdasarkan penilaian tingkat kepercayaan konsumen (bi) terhadap franchise Alfamart menunjukkan bahwa atribut yang paling baik tingkat keyakinannya adalah atribut reputasi merek (brand) tertinggi yaitu sebesar 5,28. Sedangkan atribut yang dianggap paling kurang tingkat keyakinannya adalah atribut lamanya pengembalian modal, hal ini ditunjukkan dari skor bi yang terkecil diantara atribut-atribut yang lain yaitu hanya 4,65. Setelah mengalikan skor ei dengan bi didapatkan nilai sikap konsumen (Ao) terhadap kedua merek. Sikap franchise terhadap franchise Alfamart memilki nilai 436,73. Skor tersebut masuk ke dalam kategori mendekati baik. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan franchise memiliki sikap puas terhadap franchise Alfamart.
4) Dalam analisis lanjutan evaluasi atribut terdapat atribut-atribut yang masuk kategori prioritas utama untuk dievaluasi oleh pihak manajemen, yaitu atribut lamanya pengembalian modal dan sistem managemen franchise. Kedua atribut inilah yang harus menjadi prioritas utama karena menujukkan kinerja yang tidak baik.
B. Saran
Dengan mengacu pada hasil uraian tersebut, saran yang bisa diberikan adalah sebagai berikut :
1. Bagi franchisor (pewaralaba) yang ingin mengembangkan usaha di bidang ritel (eceran) perlu mengkaji lebih dalam lagi bagaimana mengemas produk franchise yang mengutamakan pelayanan (service) dan penampilan produk sebab franchise sangat mementingkan kedua atribut tersebut. Pelayanan (service) dan penampilan produk bisa menjadi keunggulan suatu sistem franchise ditengah sengitnya persaingan produk sejenis yang dapat membedakannya dengan merek lain.
2. Bagi pihak Alfamart perlu dilakukan penanganan yang segera terhadap kinerja atribut lamanya pengembalian modal (PBP dan BEP) karena akan berdampak signifikan terhadap perusahaan. Salah satu caranya, yaitu dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja laporan keuangan semua outlet franchise Alfamart milik franchise di wilayah Jabotabek.. Selain itu, cara yang dapat dilakukan adalah managemen Alfamart harus mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pengembalian modal relatif lama.
3. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai perumusan strategi franchise Alfamart berdasarkan dengan penilaian kepuasan franchise terhadap Alfamart.
DAFTAR PUSTAKA
http://adamakalahlengkap.blogspot.co.id/2016/01/analisis-dan-evaluasi-faktor-yang.html
Anoraga, P. 1997. Manajemen Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta.
Budhisetiawan,.Y. 10 Februari – 9 Maret 2006. Minimarket Investasi Bisnis Tahan Banting. Info Franchise Indonesia No.01/1/, hal 18 – 25.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. 1998. panduan Umum Pengembangan Kemitraan Waralaba Lokal. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta.
Karamoy, A. 1996. Sukses Usaha Lewat Waralaba. Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta.
Kotter, P. 1997. Manajemen Pemasaran. (Terjemahan, Jilid 1). PT. Prenhallindo, Jakarta.
Lidia. 2001. Evaluasi Pelaksanaan Pola Waralaba dan Strategi Pengembangan Usaha Makanan Siap Saji (FAST FOOD) DI CV X Jakarta. Skripsi pada Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mandelshon, M. 1993. Franchising Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee. Pustaka Binaman, Jakarta.
Marketing. 2005. Peritel Harus Menekan Cost. Edisi 12/V/Desember, hal 46. Novisar, D M.. 10 Januari – 09 Februari 2006. Bank HS 1906 Melirik Potensi Waralaba. Info Franchise Indonesia No.01/1/, hal 24 - 25.
Parinduri, F.R. 2004. Analisis Pengambilan Keputusan Konsumen dan Perceptual Mapping Mie Instan di Kota Bekasi (Kasus di Supermarket Hero, Matahari, dan Giant). Skripsi pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purba, V. 1995. Apa dan Bagaimana Franchising Dilihat dari Segi Hukum. Makalah Disampaikan pada Seminar Dies Natalis UKI, Jakarta.
No comments:
Post a Comment